“Oh, begitu. Jadi, nuklir tidak boleh?”
“Ya. Tetapi kamu harus menunggu tahun depan.”
“Tapi, saya mau sekarang, Pak.”
Habibie bersikeras. Dia tidak mau kalah. “Saya melihat teman saya mempunyai paspor. Saya juga ingin begitu.”
“Wah, hanya bisa bagian kapal terbang atau bagian kapal laut. Kalau begitu kamu bisa dikirim ke Australia, bukan ke Jerman.”
“Tidak, pak. Saya mau ke Jerman seperti teman saya.”
“Ya, tidak mungkin. Kamu harus menunggu satu tahun.”
“Saya mau sekarang. Sama seperti kawan saya itu.”
Kengototan Habibie ini akhirnya berbuah. Dia diberi kesempatan berangkat ke Jerman tetapi dengan biaya sendiri, bukan biaya negara.
Begitulah. Habibie pun berangkat ke Jerman. Dan the untold story-nya adalah Habibie awalnya tidak mau belajar pesawat terbang tetapi fisika nuklir.
Dia bersedia belajar konstruksi pesawat terbang karena mendengar dari Muchdas bahwa bagian itu banyak ilmu pasti dan ilmu alamnya.
Hasil pertemuan dengan Muchdas itulah yang disampaikan Habibie ke ibunya. Dan dengan upaya keras sang Ibu, Habibie pun untuk pertama kali naik pesawat terbang dari Jakarta menuju Amsterdam. Dan nyambung kereta api ke Bonn, tempat dia terdampar di sebuah penginapan mahasiswa sederhana. [dmr]