Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Allahlah Landasan dan Tujuan

Redaksi
×

Allahlah Landasan dan Tujuan

Sebarkan artikel ini

DALAM buku Pesan-Pesan Takwa, yang meracik kumpulan khotbah Jumat di Paramadina, Cak Nur menjelaskan takwa sebagai kondisi kejiwaan menghayati kehadiran Tuhan di setiap aktivitas hidup.

Sedang puasa, sebagaimana kerap disitir para khatib yang berlandas surat Al-Baqarah ayat 183, sebagai latihan pengendalian jiwa agar dapat menggapai takwa. Sehingga, merujuk maksud takwa sebagai kesadaran kehadiran Tuhan, maka bisa pula dipahami bahwa wujud takwa adalah pengendalian diri. Takwa, yang mengacu pada puasa, adalah kemampuan menunda kesenangan yang bersifat kekinian demi mendapat kebahagiaan yang sesungguhnya, kebahagiaan rohani.

Dengan demikian, takwa merupakan kemampuan kita melepaskan diri dari tarikan diri, dari belenggu kesekarangan, untuk menemu hakikat kedirian. Betapa kedirian bukan kesenangan yang sesaat. Betapa kedirian bukan kesementaraan yang dangkal. Bukan kekonyolan.

Adalah Emha Ainun Nadjib, dalam tajuk Menjelang Senja Bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng di channel youtube CakNun.com, 15 April 2021, mengulas lebih jauh soal kesejatian diri dan puasa. Bahwa kesejatian itu tatkala sanggup “tidak” dari sekian “ya”, dan akan terlatih dengan puasa.

Menurut Cak Nun, puasa itu kepastian dalam hidup manusia. Kita tidak bisa tidak untuk tidak berpuasa, pasti berpuasa. “Kamu punya baju 10 potong, apakah akan kamu kenakan semua? Kan tidak! Kamu harus tetap ambil satu dan kamu pakai saat ini.” seloroh Cak Nun.

Nah, hidup itu kemampuan berpuasa. Sehingga, pas ketika Allah menyatakan bahwa puasa berbeda dari ibadah-ibadah mahda yang lain. Bahwa puasa oleh-Nya ditetapkan “khusus untuk-Ku”. Karena jelas, jika kita sanggup menahan diri, niscaya dekat kepada Allah. Bukankah Allah sedemikian menahan diri.

Bahwa Allah sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang terlatih dan memiliki kesanggupan menahan diri. Dan, puasa merupakan metode kedisiplinan mendadar diri. Puasa adalah cara hidup yang menentukan selamat tidaknya kita, baik di dunia maupun di akhirat. 

Gus Baha, dalam kesempatan di Shihab & Shihab, menuturkan bahwa paling tidak saat berpuasa kita sungguh merasa lapar. Betapa sakitnya orang-orang miskin yang terdera kelaparan. Betapa spesial makanan-makanan yang di luar ramadan kita sepelekan. Sehingga, betapa senang saat berbuka puasa, meski kita tinggal di rumah sederhana, walau tidak bermobil. 

Puasa mendidik diri untuk biasa bersyukur atas apa pun keadaan. Puasa melatih kita tidak kemaruk. Menahan diri untuk tidak selalu ingin mendapat banyak, untuk tidak berbuat yang berlebih-lebih, walau kita bisa dan memang terbuka lebar kesempatan.

“Puasa itu membatasi dan menahan hati.” ungkap Cak Nun. “Membatasi itu sosialnya, menahan itu berkaitan dorongan hati yang tak berkesudahan. Dan akan selamat jika kita bisa menghayati hidup dengan berpuasa. Daftar semua hal dalam hidup kita, yang kita membatasi diri, yang kita menahan diri!”

Lebih lanjut, suami Novia Kolopaking itu menandaskan bahwa jika sekali makan kita cukup makan sepiring nasi, kenapa harus makan lima piring? Kita mungkin saja bisa makan lima piring sekaligus, tapi akan menemu masalah, oleh karenanya kita berpuasa dengan cukup makan sepiring.

Alhasil, dengan benar-benar meniti jalan puasa, niscaya kita memperoleh kemuliaan dan peningkatan kualitas hidup. Kita tidak terjebak oleh hal-hal yang bersifat kekinian semata. Kita meraih takwa, merasai kehadiran Tuhan. Bahwa di mana pun dan kapan pun kita tidak berjauhan dengan Allah.

Bahwa ketika berjalan, ketika duduk, ketika berdiri, ketika berkendaraan, dan ketika mengerjakan apa pun, Allah tidak hanya kita ingat dan kita gumamkan nama-Nya. Sungguh, betapa takwa telah menjadi pijakan: Allahlah landasan dan tujuan kita.