Scroll untuk baca artikel
Blog

Angin-anginan Menyelesaikan Kasus HAM

Redaksi
×

Angin-anginan Menyelesaikan Kasus HAM

Sebarkan artikel ini

BARISAN.COPemerintah dinilai abai untuk menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Namun, Menkopolhukam Mahfud MD kemarin lalu tidak membenarkan itu (15/3/2021).

Ia menyebut, bahwa semua kasus pelanggaran HAM masih terus diproses oleh pemerintah. Mahfud juga mengatakan proses penyelesaian bukan hanya dilaksanakan lewat pengadilan, tapi juga di luar pengadilan atau non judicial.

Pernyataan Mahfud Md itu mendapat tanggapan YLBHI sehari berikutnya. “Sejauh mana keseriusannya? Sederhananya apakah berkas penyelidikan (kasus pelanggaran HAM berat) sampai ke tahap penyidikan? Nyatanya belum,” ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur, dalam diskusi virtual yang diadakan LP3ES bertajuk Peradilan dan Impunitas, Selasa (16/3/2021).

Dalam catatan YLBHI, terdapat 12 kasus yang hingga kini belum mendapatkan kepastian hukum. Sementara hanya ada 3 kasus yang ditindaklanjuti pemerintah hingga sampai ke tahap pengadilan. Ketiganya yaitu peristiwa Timor-Timor tahun 1999, Tanjung Priok tahun 1984, dan Abepura tahun 2000.

“Bahwa berkas perkara penyelidikan kasus-kasus penanganan HAM berat di masa lalu itu sejak tahun 2018 masih atau tertinggal di Jaksa Agung, dan belum ada tindak lanjutnya sampai sekarang,” lanjut Isnur.

Sikap pemerintah demikian, menurut Isnur, telah banyak membuat posisi negara makin tidak berpihak pada isu hak asasi manusia. Hal itu ditambah adanya praktik impunitas serius di Indonesia. Ada pembiaran yang nyata di mana para pelanggar HAM berat di masa lalu bebas melenggang bahkan mendapat jabatan politik penting di pemerintahan.

“Nama-nama para pelanggar HAM selama ini tidak bisa dipanggil paksa dan digeledah dengan alasan itu adalah kewenangan penyidik. YLBHI menilai ada problem besar di institusi penegak hukum. Pengadilan menjadi insititusi yang tidak lagi independen,” demikian Isnur.

Praktik impunitas dan serangkaian gejala melemahnya keberpihakan negara dalam kasus pelanggaran HAM ini menimbulkan keraguan dari korban. Harapan agar negara tampil sebagai aktor yang menyelesaikan kasus-kasus tersebut mulai diragukan.

“Yang terjadi agaknya bukan soal unwilling, melainkan pula unable, utamanya terkait terjadinya hambatan-hambatan pada proses.” Kata Muhammad Isnur. []