Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Baca Asad, Kangen Muhammad Zuhri

Redaksi
×

Baca Asad, Kangen Muhammad Zuhri

Sebarkan artikel ini

YANG jelas saya bukan ahli agama, dan memang sedari kecil saya merasa tak diarahkan ke situ. Saya menjadi muslim karena keturunan. Saya terlahir dari keluarga muslim biasa, bukan tokoh agama. Dari keluarga yang juga tak punya pengaruh sosial-politik, terlebih ekonomi.

Namun, alhamdulillah saya dikaruniai perasaan gelisah atas keislaman yang saya reguk dari kecil itu. Dan, acap kali terlegakan berkat asupan wawasan yang saya santap dari buku-buku bacaan. Namun, saya bukan prototipe orang yang mapan dalam satu mazhab. Saya senang berpindah dari satu pemikiran ke pemikiran yang lain. Ada berderet tokoh yang mewarnai corak keislaman saya. Hingga akhirnya, saya bertemu Muhammad Zuhri, dan termantapkan kemudian setelah memperoleh The Message of the Qur’an, magnum opus Muhammad Asad.

Dulu—karena ayah saya seorang penjaga di SMP Negeri 1 Miri, Sragen, di mana saya berkesempatan untuk menghabiskan hari-hari remaja di perpustakaan sekolah—saya membaca apa saja, seketemunya buku di ruang perpustakaan, usai jam sekolah. Masih jelas dalam ingatan, ketika itu saya duduk di bangku kelas tiga SMP, saya baca kisah Muhammad Saw. dan Islam karya Sa’id Hawwa. Saya merasakan girah Islam yang membuncah. Saya mulai memfanatiki Islam.

Ketika lanjut ke sekolah menengah atas, saya masuk di SMA Negeri 1 Sragen sekaligus menyantri di pesantren Muhammadiyah. Langsung saya familiar dengan pemikiran Amien Rais, bahkan sempat mengaguminya ketika ia terang-terangan melawan rezim Soeharto. Sampai kemudian, saat duduk di kelas dua, saya terpikat opini-opini Emha Ainun Nadjib. Saya terhibur oleh celetukan-celetukan segar Emha yang terhimpun dalam Markesot Bertutur, Markesot Bertutur Lagi, Oples, Gelandangan di Kampung Sendiri, Indonesia Bagian dari Desa Saya, dan Dari Pojok Sejarah Renungan Perjalanan.

Saking keasyikan dengan Cak Nun, membuat saya merasa sekolah tidak ada gunanya. Saya merasa duduk manis di ruang kelas dan bercanda dengan teman-teman sekelas atau sesekolahan itu membosankan. Keingintahuan dan pencarian akan makna banyak hal itu sepertinya mustahil saya gapai di bangku sekolah. Alhasil semenjak pertengahan kelas dua hingga akhir kelas tiga, waktu bolos lebih sering ketimbang di dalam kelas. Saya kerap melayap, tapi lebih sering ke Pasar Gede Surakarta dan Terminal Tirtonadi. Acap pula sekadar nongkrong di trotoar sekitar Singosaren Solo. Singkatnya, saya terobsesi menjalani sebagaimana renungan yang ditulis Emha Ainun Nadjib.

Seorang Emha membuka cakrawala berpikir saya tatkala ia memprihatini kesimpang-siuran dan kebobrokan moralitas di negeri ini. Ia memberangi segala modernisasi. Ia mengutuk konsumerisme boros, pelebaran jurang si Kaya dan si Miskin, dan pengkotakan Islam dengan realitas politik. Emha membantu saya bagaimana merasakan semesta. Menghayati denyut masyarakat bawah. Bagaimana menjadi murid yang mesti berani berkehendak. Bagaimana hidup sakmadya, tidak kisruh tatkala harus berbeda dengan arus dominan.

Ketika berkesempatan ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri, saya memutuskan masuk Universitas Diponegoro, Fakultas Sastra. Saya pilih fakultas dan jurusan yang sedikit peminat, sehingga kemungkinan diterima terbuka lebar. Karena toh bukan fakultasnya yang saya utamakan, melainkan asal kampus negeri, karena terkait biaya. Lagian saya berminat kuliah karena pengin aktif di HMI, tidak lain. Organisasi kemahasiswaan Islam cukup keren sekaligus menantang pada saat itu. Dan, syukur alhamdulillah diterima.

Seperti halnya saat sekolah di menengah atas, terlebih usai baca ide Ivan Illich, Bebas dari Sekolah, saya menjalani hari-hari kuliah lebih banyak di luar gedung kampus. Kemudian, setelah lulus Basic Training HMI,saya mulai berkarib dengan pemikiran Nurcholish Madjid. Saya baca Islam Agama Peradaban, dan Pintu-Pintu Menuju Tuhan.