Demokrasi hanya bisa kuat kalau lembaga-lembaganya kuat. Maka kalau kita merasakan demokrasi sedang ambyar seperti sekarang, jelas bisa disimpulkan bahwa ada lembaga yang kurang beres kinerjanya.
Partai politik boleh diduga menjadi pemilik saham terbesar keambyaran demokrasi kita. Setidaknya menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI), parpol dicap sebagai lembaga yang paling tidak dipercaya publik dari 12 lembaga yang disurvei. Hanya 5 persen responden yang sangat percaya kepada partai politik—bandingkan dengan misalnya TNI di posisi teratas yang sangat dipercaya 25 persen responden.
Persoalan parpol jelas cukup esensial untuk segera dibenahi. Sebab, hanya parpol yang barangkali masih mengusung corak wawasan lama di tengah zaman yang sudah maju ini. Oligarki politik, patriarki, feodalisme, macetnya kaderisasi, dan buruknya pengelolaan keuangan parpol menjadi masalah besar. Pada yang disebut terakhir, bahkan bisa dikata semua kader parpol telah ada yang terciduk KPK.
Kenapa penting mengubah cara parpol bekerja? Daniel Dakhidae, intelektual Indonesia yang baru saja pergi itu, suatu ketika pernah mengatakan bahwa sedang terjadi kecenderungan putar-balik (reverse) sistem politik ke arah otoritarianisme.
Setelah Orde Baru mengekang, mengintervensi, dan membatasi parpol, ruang partisipasi politik dibuka luas di era awal refomasi. Muncul sembilan ratusan partai dalam kurun 1998-1999. Reformasi membuat pecahnya pemilu bebas dan munculnya jaminan independensi parpol.
Terdapat pula perluasan peran dan fungsi parpol. Parpol tidak hanya sekadar kendaraan politik elektoral tetapi juga non-elektoral. Bahkan, parpol menjadi kendaraan politik di pemilu untuk posisi eksekutif (Presiden) dan kepala daerah. Parpol juga menentukan posisi strategis di lembaga publik. Terlihat jelas adanya peran dan perubahan fungsi parpol dibanding era Orde Baru.
Namun menurut penjelasan Daniel Dhakidae, kini ada gerak balik, atau sekurang-kurangnya adanya keinginan untuk bergerak balik, kepada apa yang disebut sebagai strong state, negara kuat, sebagaimana pernah dijalankan di era Soekarno dan Soeharto. Muncul semangat kebangsaan baru yang menginginkan negara kuat menjadi sponsor baru di tengah globalisme dan globalisasi.
Perubahan kecenderungan untuk banyak meniru zaman sebelum reformasi ini, menurut Daniel Dhakidae, akan membawa serta perubahan dalam paham kebangsaan. Keberkuasaan masyarakat sipil (partai politik, LSM, maupun modal) yang dicapai sejak reformasi bisa jadi terkikis.
Maka, upaya memperkuat lembaga-lembaga demokrasi—terutama parpol—jelas merupakan keharusan. Parpol setidaknya perlu menyelesaikan persoalan yang sudah disebut di atas. Yang paling mendesak adalah penegasan ideologi partai untuk mengikis elitisme, transparansi dan pengumpulan dana, serta perbaikan kaderisasi.
Pertama, pembenahan ideologi partai. Ini penting untuk menyelesaikan kecenderungan hari ini, di mana semua parpol mirip-mirip satu dengan yang lainnya. Harus dimengerti bahwa keengganan publik untuk mengidentifikasi dirinya dengan parpol tertentu adalah karena mereka merasa, “Toh, semuanya sama saja”. Dengan ideologi parpol yang jelas, identitas setiap partai pun akan menjadi jelas.
Sebab ideologi yang tidak jelas hanya membawa parpol terdikte pendapat elite partai. Apa kata big brother, itulah yang diterima sebagai kebenaran.
Kecenderungan elitisme ini setidaknya masih kental ditunjukkan oleh empat partai besar yaitu PDIP, Gerindra, Nasdem, dan Demokrat.
Selain masalah elitisme, ketersediaan sumber dana juga penting untuk dibenahi. Biaya demokrasi yang mahal, dalam banyak kasus, membuat parpol memaksa para kadernya memanfaatkan sumber-sumber samar. Beberapa kader partai pun tak jarang melakukan korupsi demi fundraising partainya.