Scroll untuk baca artikel
Blog

Batu Persidangan Siallagan, Destinasi Wajib Sumatera Utara

Redaksi
×

Batu Persidangan Siallagan, Destinasi Wajib Sumatera Utara

Sebarkan artikel ini

Batu Persidangan Siallagan perlu jadi destinasi yang wajib disinggahi. Letaknya di Ambarita, salah satu perkampungan di Pulau Samosir.

BARISAN.CO Perjalanan ke Pulau Samosir seakan melempar ke masa silam untuk mengenal tradisi dan budaya masyarakat Batak zaman dulu.

Setelah puas mengagumi pesona Danau Toba dan Pulau Samosir, mampirlah ke Ambarita, salah satu perkampungan di Pulau Samosir. Dulunya merupakan sebuah perkampungan atau kerajaan yang didirikan oleh Raja Laga Siallagan.

Jejak kerajaan Siallagan terlihat dari benteng batu yang tersusun rapi dengan ketinggian sekitar 1,5 meter berdiri kokoh mengelilingi kawasannya. Maklum, pada zaman dahulu peperangan antar-kerajaan masih sering terjadi, selain sekaligus menghindarkan dari serangan hewan buas.

Masuklah lebih dalam ke perkampungan Siallagan dan lihatlah susunan kursi batu yang membentuk formasi melingkar. Itulah Batu Persidangan Siallagan, tempat pelaksanaan persidangan untuk menentukan vonis bagi pelanggar adat dan musuh yang menyerang.

Menilik dari susunan batu persidangan, sepertinya dalam menjatuhkan hukuman, sang raja mengedepankan asas musyawarah.

Alihkan pandangan ke sebuah meja batu besar berbentuk cekung tidak jauh dari batu persidangan. Seorang yang telah dijatuhi hukuman mati, selanjutnya pada hari yang telah ditetapkan akan dibaringkan dengan mata ditutup kain ulos di meja batu yang berfungsi sebagai tempat eksekusi itu.

Proses eksekusi cukup menyeramkan. Sebelumnya, dukun adat akan memeriksa apakah terpidana memiliki ilmu kebal atau tidak. Caranya, setelah semua pakaian terpidana ditanggalkan, badannya disayat dengan menggunakan pisau.

Dokpri. Arbain Nur Bawono.

Untuk memastikan, sayatan tersebut ditetesi dengan menggunakan perasan jeruk nipis. Jika tidak menjerit kesakitan, maka dukun adat akan melakukan ritual penghilang ilmu kebal.

Setelah dieksekusi, potongan tubuh terutama jantung dan hati dibagi-bagikan kepada seluruh warga untuk dimakan. Darah yang ditampung digunakan sebagai minuman. Memakan sebagian tubuh itu untuk menegaskan kekuasaan raja, selain dipercaya dapat menambah kekuatan. Sepertinya, ungkapan “orang Batak makan manusia” berkembang dari tradisi ini.

Eksekusi menyeramkan itu dituturkan oleh seorang pemandu dengan gaya bercerita khas Batak yang sangat ekspresif.

Untuk memperjelas gambaran ceritanya, pemandu juga mengajak pengunjung terlibat secara teatrikal untuk berakting memerankan pelaku-pelaku di setiap proses eksekusi.

Jangan segan-segan untuk berpartisipasi dalam pertunjukan. Selain menambah kemampuan mengapresiasi warisan tradisi tersebut, dengan memerankan langsung cerita itu justru dapat mengurangi kesan eksekusi yang menyeramkan. [dmr]

Dokpri. Arbain Nur Bawono