Oleh: Awalil Rizky*
Barisan.co – Posisi utang Pemerintah Indonesia pada akhir Oktober 2020 mencapai Rp5.877,71 triliun. Bertambah sangat signifikan dibanding posisi akhir tahun 2019 yang sebesar Rp4.786,59 triliun.
Utang bertambah sebanyak Rp1.091,12 triliun, atau meningkat 22,80%. Peningkatan yang terbilang jauh lebih tinggi dibanding biasanya.
Posisi utang Pemerintah memang tiap tahun selama ini cenderung meningkat. Dampak pandemi Covid-19 membuat kenaikannya menjadi luar biasa selama tahun 2020. Belanja dan pengeluaran pemerintah terpaksa bertambah lebih banyak dari rencana sebelumnya. Padahal, pendapatan justru dipastikan menurun.
Pemerintah biasa menyajikan posisi utangnya sebagai porsi atau rasio dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam khazanah kajian akademis, rasio serupa itu memang menjadi salah satu indikator analisis, terutama dalam kaitannya dengan risiko. Undang-undang keuangan negara juga memberi batas rasio yang diperbolehkan, yaitu sebesar 60%.
Rasio utang pemerintah telah mencapai 37,84% pada akhir Oktober 2020. Pemerintah sendiri memang telah memprakirakan rasionya di kisaran 38% pada akhir tahun nanti. Meningkat drastis, yaitu sekitar 7,8% dari rasio akhir tahun 2019 yang masih sebesar 30,23%. Selama periode tahun 2016-2019, rasio utang memang masih relatif terjaga di kisaran 30%.
Pemerintah sering “menjelaskan” bahwa kondisi utang banyak negara lain lebih memburuk dari Indonesia akibat dampak pandemi Covid-19. Ada grafik dalam Nota Keuangan dan APBN tahun 2021 yang menyajikan contoh peningkatan rasio utang beberapa negara, termasuk Indonesia. Data dari grafik itu bersumber pada proyeksi International Monetary Fund (IMF) dalam suatu laporannya, yaitu World Economic Outlook (WEO) edisi Juni 2020.
(Sumber data: WEO Juni 2020, diolah)
Rasio utang pemerintah Indonesia dalam grafik tampak hanya bertambah 7,8% atas PDB selama setahun, 2019-2020. Hampir setara dengan Nigeria dan Turki yang bertambah 7,4%. Masih lebih baik dibanding Meksiko (12,20%), Brazil (12,80%), dan Afrika Selatan (17,70%). Disajikan pula kondisi empat negara maju yang rasio utangnya bertambah sangat besar pada 2019-2020, yaitu: Amerika Serikat (32,7%), Spanyol (28,3%), Jepang (30,0%) dan Inggeris (16,2%).
Pemerintah memang tidak salah atau berbohong mengemukakan data tersebut, yang bahkan disertai kotak penjelasannya dalam Nota Keuangan. Namun, perlu dimengerti bahwa cara berbeda dalam “membaca data” yang sama, dapat dilakukan. Yaitu berupa menghitung seberapa persentase perubahannya. Cara ini bahkan dapat dianggap lebih mencerminkan dampak, karena menimbang lebih tepat perubahan atas besaran indikator sebelumnya.
Terlihat bahwa tambahan rasio utang sebesar 7,8% atas PDB tersebur merupakan kenaikan 23,61% dari posisi sebelumnya. Jika yang dipakai sebagai indikator adalah persentase perubahan rasio utang, maka Indonesia tidak tampak lebih baik dari kebanyakan negara lain.
Dua negara yang seolah lebih buruk pada cara membaca data sebelumnya, justru lebih baik dari Indonesia. Meksiko meningkat 22,72%, sedangkan Brazil hanya 14,30%. Sementara itu, Afrika Selatan yang seolah jauh lebih buruk dari Indonesia, menjadi hanya sedikit lebih buruk, yakni meningkat 28,46%.
Dalam hal empat negara maju yang dikutip Pemerintah, persentase kenaikan rasio utangnya tidak jauh lebih buruk dari Indonesia. Yang memang meningkat lebih tinggi adalah Amerika Serikat (30,08%) dan Spanyol (29,63%). Sedangkan dua negara lain justru relatif lebih baik, yaitu Jepang (12,61%) dan Inggris (18,97%).
Selain itu, penulis cukup heran atas kutipan dan ulasan data WEO Juni 2020 yang terbilang cukup panjang dalam Nota Keuangan yang terkesan memilih data yang “lebih baik” saja. Yang dijelaskan merupakan proyeksi tahun 2020, padahal, laporan juga membuat proyeksi tahun 2021. Dan jika proyeksi tahun 2021 disertakan, maka Indonesia akan tampak lebih buruk. Ada negara lain yang rasio utangnya turun atau hanya stagnan, sedangkan kita masih naik pada tahun 2021.
Sebagai contoh, Brazil yang rasio utangnya diproyeksikan akan turun dari 102,3% (2020) menjadi 100,6% (2021). Untuk negara maju, yang diproyeksikan turun adalah Jepang dan Inggris. Sedangkan yang hanya naik sedikit atau relatif stagnan: Rusia, Nigeria, Meksiko, dan Spanyol. Sementara itu, Indonesia masuk kelompok yang rasio utangnya diproyeksikan masih meningkat cukup signifikan pada tahun 2021, dari 37,7% menjadi 40,3%.
Ada informasi lain pada WEO Juni 2020 yang memang sebagiannya dikutip oleh Pemerintah, namun tidak dianalisis bersamaan dengan peningkatan rasio utang. Yakni data tentang alokasi anggaran Pemerintah untuk Covid-19. Berupa tambahan belanja, pengeluaran investasi, dana penjaminan, dan lain sebagainya. WEO menyatakan nilainya berupa porsi (persentase) atas PDB. Dengan kata lain, bisa langsung diperbandingkan dengan soalan tambahan rasio utang di atas.
Berdasar laporan itu, Indonesia mengalokasikan anggaran fiskalnya sebesar 3,5% dari PDB. Hanya lebih besar dari Meksiko (1,2%) dan Rusia (2,9%). Jauh lebih kecil dari Turki (9,4%), Brazil (11,9%), Afrika Selatan (9,5%), dan 4 negara maju yang disajikan dalam grafik Nota Keuangan.
Dengan demikian, secara sederhana kita dapat saja mengatakan bahwa kebanyakan tambahan rasio utang mereka karena memang untuk menangani pandemi. Sedangkan untuk Indonesia, masih perlu penjelasan yang lain. Tambahan rasio utang Indonesia (7,8% atas PDB) pun jauh melebihi alokasi untuk pandemi (3,5% atas PDB).
Penulis tak bermaksud membantah penjelasan bahwa Pemerintah terpaksa berutang lebih banyak akibat dampak pandemi Covid-19 atas APBN. Terutama pada sisi pendapatan. Sedangkan pada sisi belanja, penulis masih berbeda pandangan dengan menilai kurangnya upaya mengubah secara paradigmatik, sehingga bisa mengompensasi kebutuhan mitigasi pandemi.
Penulis pun menilai upaya menjelaskan bahwa negara-negara lain terdampak lebih besar dalam hal utangnya sebagai berlebihan. Kondisi Indonesia tidak lebih baik dari mereka, dan penyajian secara “tebang pilih” atas data IMF sebagaimana dijelaskan di atas merupakan narasi yang tak dibutuhkan.
Semua komponen bangsa perlu mengerti tentang kesulitan yang dihadapi. Pemerintah memang wajib menjaga rasa optimis berbagai pihak. Namun, sebaiknya memberi penjelasan yang lebih terbuka dan fair.
Awalil Rizky, Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri
Diskusi tentang post ini