Saya biasanya berpesan agar pulang paling lambat jam 4 sore, supaya tidak kesorean untuk sholat Ashar. Selama satu dua hari awal, dia selalu pulang sekitar jam 5 sore. Saya menegurnya, “Kenapa pulangnya sore sekali?” Dia menjawab, “Tempat mainnya jauh.” “Diatur nang, agar jam setengah empat sudah bersiap pulang,” kata saya menyarankan.
“Susah Mi, kan bersama teman-teman,” jawab Adli. Melihat ekspresi wajahnya ketika menjawab, saya mecoba berkompromi. “Gimana kalau antara jam 4 dan jam 5 sore saja, berarti jam 4.30 sore sudah sampai rumah. Bisa?” saya menawarkan kompromi. “Bisa” jawabnya.
Saya menegaskan kembali agar menjadi aturan yang jelas, “Jadi paling telat pulang jam 4.30 sore. Lebih dari waktu itu, besoknya tidak boleh main.” Dia mengiyakan. Jadilah kami punya kesepakatan. Suatu ketika, Adli pulang lebih dari jam 4.30 sore, maka besoknya dia tidak main keluar rumah.
Berhubungan dengan kisah ini, saya pernah bertemu dengan ibunya teman Adli ketika masih di TK. Dia mengeluhkan anaknya yang dilarang main keluar rumah justeru sering mencuri kesempatan ketika sedang bekerja di tokonya yang dekat dari rumah. Tidak ditutupi rasa jengkelnya atas itu.
Ibu tadi kemudian mengira anak saya jarang bermain karena prestasinya bagus dan rajin belajar. Dia menanyakan bagaimana supaya anak tidak terlalu sering bermain dengan teman-temannya.
Saya ceritakan apa adanya, bahwa Adli pun sering bermain seperti itu. Tapi dia selalu meminta ijin dan mengatakan akan bermain dengan siapa dan di mana. Saya tidak melarang, hanya membatasi dengan kesepakatan aturan main.
Hal demikian saya rasakan lebih efektif, dan tidak perlu merasa jengkel. Malah ada rasa senang karena anak menghargai kesepakatan. Saya bisa berharap anak belajar dan terlatih menepati janji.
Saya sarankan kepada ibu itu untuk tidak melarang anaknya bermain, hanya dibikin aturan umum berdasar kesepakatan. Saya tegaskan, anak-anak justru butuh bermain agar diri mereka tumbuh kembang dengan baik.
*******
Praktik membuat aturan berdasar kesepakatan dan dilaksanakan dengan konsekwen kadang perlu penyesuaian sesekali. Tidak sepenuhnya bersifat kaku, bisa diubah dengan membuat kesepakatan baru lagi. Perbincangan kedua orang tua untuk mengevaluasi berbagai kondisi perkembangan anak selalu diperlukan.
Pengalaman keluarga kami pernah terjadi ketidaksamaan pendapat antara saya dengan suami dalam hal apakah anak-anak boleh main game. Waktu itu di komputer dan Play station. Kasusnya adalah Adli dan Akram. Saya cenderung melarang, namun abahnya ingin membolehkan.