Abahnya berpendapat anak laki-laki memang suka main game. Jika dilarang pun akan memiliki banyak kesempatan bermain di luar rumah. Perkembangannya memang belum semasif saat ini, dan pilihannya masih terbatas. Namun menurut abahnya hanya soal waktu, itu akan berkembang pesat seiring dengan kemajuan dunia digital.
Meski saya sebenarnya masih enggan, namun karena abahnya bersikeras membolehkan, maka saya mencari jalan tengah. Disepakati aturan bersama Adli dan Akram bahwa mereka boleh main game pada hari libur saja. Ketika main pun tidak boleh terus-terusan, tiap dua jam harus jeda sekurangnya satu jam. Main game juga dilakukan di komputer dan nantinya ditambah laptop di ruang yang mudah terlihat orang lain. Abahnya juga membelikan peralatan play station.
Perlu saya kisahkan juga dampak tak terduga dari komunikasi yang dialogis dan logis. Kejadiannya terjadi pada perbincangan abahnya dengan Aya ketika masih SMP. Ketika itu, anak-anak sedang diajak makan pizza di sebuah mall. Tiba-tiba Aya bertanya kepada abahnya, “Abah ini menulis buku neoliberalisme mencengkeram Indonesia, tetapi mengapa sering mengajak makan-makan begini?”
Abahnya sambil tersenyum menyahut, “Tetapi kamu suka kan?” “Iya juga sih,” kata Aya. “Nanti kita akan diskusikan tentang sebagian isi buku abah ya,” lanjut abahnya. Sejak itu, abahnya tampak lebih berhati-hati memilih resto atau rumah makan untuk makan bersama keluarga. [rif]