Scroll untuk baca artikel
Kisah Umi Ety

Berkomunikasi Secara Baik dengan Anak (Bagian Satu)

Redaksi
×

Berkomunikasi Secara Baik dengan Anak (Bagian Satu)

Sebarkan artikel ini

KOMUNIKASI secara sederhana dapat diartikan sebagai proses penyampaian informasi dari satu pihak kepada pihak yang lain. Dalam tulisan ini terutama dari orang tua kepada anak, serta sebaliknya. Informasi dimaksud bisa berupa pesan atau gagasan.  

Komunikasi yang baik dicirikan oleh informasi yang tersampaikan secara tepat. Nyaris tidak ada kesalahan dalam penyampaian tentang isi atau konten informasi. Penerima informasi pun dapat menerima secara cukup utuh dan presisi. Sehingga reaksi atau tanggapan baliknya kemungkinan besar akan baik pula.

Sebaliknya dengan komunikasi yang buruk. Terjadi kesalahan dalam hal isi informasi atau cara penyampaian. Bisa pula kekeliruan dari sisi penerima. Kemungkinan besar, reaksi atau tanggapan akan jauh dari yang diharapkan.

Membiasakan berkomunikasi secara baik antara orang tua dengan anak sangat perlu dilakukan sejak usia dini. Bahkan sejak anak masih bayi atau baru bisa mengucapkan beberapa patah kata. Dan dari pengalaman kami, hal demikian membantu proses anak menjadi makin pintar.

Sejak usia dini, anak-anak kami dibiasakan mendengar penggunaan bahasa yang cukup baik dan benar dari orang tua. Kami meyakininya sebagai contoh pada anak bagaimana berbicara, bercakap dan pada akhirnya berperilaku. 

Salah satu hal sederhana berupa contoh pengucapan kata yang benar sejak bayi. Kami menjaga agar tidak mengikuti “celatnya” pengucapan anak. Kadang karena merasa lucu dan menggemaskan, orang tua yang justeru meniru pengucapan anak. Tanpa disadari hal itu akan memperlambat kemampuan anak dalam berkomunikasi.

Orang tua berperan sangat besar, menjadi guru pertama dalam pembelajaran anak. Guru yang akan ditiru, termasuk dalam berkomunikasi. Memberi contoh pengucapan kata yang benar sejak bayi sangat perlu dibiasakan dan dilakukan secara konsisten. Tentu tak perlu memaksa anak untuk segera mampu menirukan, karena perlu proses.

Sering butuh improvisasi dalam berkomunikasi dengan anak yang masih sangat kecil atau belum bisa mengucapkan kata yang jelas, apalagi berupa kalimat utuh. Saya sering menterjemahkan “bebas” dengan kata-kata bahasa Indonesia baku yang diprakirakan sesuai dengan yang dimaksud anak.

*******

Ketika Ira bayi berteriak “waa… waa…. waa…“ kadang saya ucapkan “Anak ummi manggil-manggil, minta ditemani, ya?”  Di lain kesempatan Ira bersuara “kh… kh…kh” melihat dia menguap, saya timpali “ Ira sudah mengantuk? Mau bobo?” Pokoknya, saya tak pernah bosan mengajak dia berbincang dengan kalimat serupa terjemahkan bebas. Tentu tidak selalu persis yang dia mau, namun menjadi perbincangan. Dan sekali lagi, anak mulai terbiasa mendengar kalimat sederhana tetapi cukup utuh.

Pada masa anak-anak kami berusia jelang satu tahun biasanya ucapan mereka sudah terdengar jelas, namun sebagian besar masih belum berupa kata apalagi kalimat utuh. Saya masih menterjemahkan tapi tidak sebebas waktu bayi. Biasanya jika kita salah menterjemahkan, pasti anak mengulang kata-katanya. Kalau beberapa kali tidak juga benar, umumnya anak tampak marah. Kesabaran orang tua dalam berkomunikasi diuji.

Sewaktu Ira berumur sekitar 11 bulan kalau membuka buku, selalu bilang “Ta”. Saya sahuti, “ Ya, bukunya dibuka”.  Lalu bilang “Tata” sambil menutup buku. “Ya, bukunya ditutup,” kata saya.  Kalau Ira buka buku sambil melihat halaman yang dibuka, berucap “Bedih…bedih…bedih”. Saya tertawa dan bertanya “Ira sedang membaca?” Dia mengangguk, berarti saya benar. 

Namun, sedekat apa pun seorang ibu, pasti cukup sering salah mengerti dengan yang dimaksud anak. Pada suatu hari Ira sedang saya suapi di dalam rumah. Tiba-tiba dia menunjuk pintu sambil berkata “Ta”. Saya sahuti, “Ya, pintunya boleh dibuka.”  Lalu dia bilang “Tata”. Karena heran saya tanyakan “Pintunya mau ditutup?” Saya bergerak meraih handel pintu. Ira masih berucap “Tata” sambil berusaha mendorong daun pintu. “Pintunya tidak jadi ditutup?” kata saya memastikan. Ucapan “Tata” makin keras dengan ekspresi jengkel sambil memandan saya. Sudah pasti terjemahan saya keliru. Saya bujuk dengan ucapan lembut, “Ira mau apa?”. Masih “Tata” sambil menunjuk ke pintu yang kini sudah terbuka. “Ira mau ke luar?” barulah dia mengangguk dengan wajah senang.