Komunikasi dialogis juga bercirikan isi pembicaraan yang logis. Tentu saja makna logis di sini bersifat umum, yakni bisa diterima akal sehat atau dapat dinalar. Selalu diupayakan ada alasan yang cukup jelas tentang suatu masalah. Termasuk dalam nasihat, perintah dan larangan orang tua.
Ira kecil pernah heran dan tampak iri pada anak tetangga yang jauh lebih besar dari dirinya. “Kok masnya boleh main air hujan? Ira kok nggak boleh?” tanyanya. Saya jawab, “Ira masih kecil. Badannya belum kuat kena air hujan yang lama. Masih mudah pilek.” Oleh karena dia ingat pernah pilek yang rasanya sangat tidak nyaman, dia pun tampak menerima dilarang main hujan.
Meski demikian, perbincangan belum berakhir. Ira masih bertanya, “Masnya nggak mudah pilek ya, Mi?” Saya sahuti, “Ya, badannya sudah lebih kuat.” Setelah diam sebentar, Ira masih berkata, “Kalau sudah besar seperti masnya boleh ya, Mi?” Tidak ada pilihan bagi saya, selain mengiyakan, “Ya, asal badanmu sedang sehat.”
Kebetulan pada lain kesempatan, saya sempat mendengar percakapan anak kecil yang lebih tua sedikit dari Ira, yang dilarang juga main hujan. Ibunya mengatakan, “Nggak boleh! “Ketika anak itu merengek masih meminta, dijawab “Pokoknya nggak boleh!” Komunikasi yang terasa tidak memberi kesempatan anak berbincang dan bernalar lebih lanjut.
Pengalaman keluarga kami, anak-anak yang terbiasa dilatih berpikir logis justeru lebih mudah menerima larangan. Tentu saja, tidak selalu terjadi kesamaan pendapat atau keinginan. Namun, jika ada perbedaan, perbincangan akan berlanjut dan bermuara pada pembelajaran bagi kedua belah pihak.
*******
Perbedaan pandangan antara orang tua dan anak biasanya bertambah cukup banyak saat usia mereka beranjak remaja. Kebiasaan berkomunikasi dialogis sejak mereka masih kecil biasanya sangat membantu proses menyamakan atau sekurangnya berkompromi.
Ada satu kisah dialog cukup panjang dan sempat berlanjut dalam berbagai kesempatan selama kurun waktu yang panjang antara kami dengan Ira. Sepulang mengikuti olimpiade bidang kimia (International Chemistry Olympiad) tingkat SMA di Jepang, Ira menyampaikan keinginan berkuliah di Universitas Tokyo. Sewaktu mengikuti lomba, ada kakak kelasnya yang telah berkuliah mengajak untuk kuliah di universitas tersebut.
Ira menyampaikan keinginannya kepada abahnya dalam perjalanan kereta api dari Jakarta ke Yogja seusai lomba yang memberinya medali perak tersebut. Abahnya secara persuasif mengatakan nanti dibicarakan bersama di rumah. Saya diceritakan tentang kejadian itu.