Meski demikian, kehidupan material itu fitrah yang tak boleh diabaikan. Nabi Saw. keras melarang umatnya meninggalkan keluarga hanya karena hendak sepenuhnya beribadah kepada Tuhan. Bahwa kesempurnaan itu tidak berarti dengan meninggalkan rezeki dunia.
Bahkan dalam surah An-Nisa: 75, Tuhan mengkritik kenapa umat Islam tidak mau membela orang-orang yang lemah, orang-orang tertindas. Bahwa ada kesejajaran orientasi ke Tuhan dengan pemihakan kepada kaum terpinggirkan.
Maka, menyuarakan persoalan yang mengimpit kelas bawah, mengangkat isu-isu konkret seperti penggusuran, perbaikan jalan raya, pengusiran pedagang kakilima, penambangan semen yang sewenang-wenang, perusakan pesawahan, penggundulan lahan hutan, ketimpangan UMR, dst itu, tetap wajib kita jalankan.
Berarti?
Ya, kesadaran ketuhanan tetap harus bersambung dengan kemanusiaan. Bahwa sepenuhnya menghamba kepada Tuhan itu mesti memahami peta kemiskinan dan kesenjangan yang disebabkan oleh ketimpangan struktural. Berpangkal pada iman kudu berujung pada ihsan.
Jangan sampai terjadi, “sudah ngaji hikam, tapi berlagak buta terhadap aspal yang jebol di mana-mana.” [Luk]