BARISAN.CO – Masih soal doa, masih tentang pengabulan permintaan. Bahwa sedianya kita tidak meragukan janji pengabulan. Bahwa terwujudnya janji acap memerlukan waktu yang tak sebentar. Seperti doa Nabi Musa, “Ya Tuhan kami! Engkau telah memberi Firaun dan para pengikutnya perhiasan dan harta di kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, mereka akan menyesatkan orang di jalan-Mu. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta mereka dan tutuplah hati mereka rapat-rapat, mereka tidak akan beriman sampai melihat siksa yang amat pedih.” (Yunus: 88).
Menurut riwayat, sebagaimana dikutip Syekh Ibnu Ajibah, lamanya pengabulan doa Nabi Musa itu mencapai 40 tahun. Masa yang tidak sebentar. Dan melanjutkan hikmah sebelumnya, Syekh Ibnu ‘Athaillah menuturkan, “Janji yang tak dipenuhi Tuhanmu pada waktunya jangan sampai membuatmu ragu. Agar keraguan itu tidak menjadi perusak pandanganmu dan pemadam cahaya kalbumu.”
Betapa, persoalan doa ini kerap menggiring umat malah lalai, karena dikaitkan dengan pengabulan. Padahal di hikmah Syekh Ibnu ‘Athaillah sebelumnya, dengan jelas Syekh Ahmad Zarruq mengulas bahwa doa itu adalah ubudiyah. Bahwa hakikat doa adalah memperlihatkan kefakiran, kerendahan, dan rasa butuh kita selaku hamba Allah. Sementara, pengabulan menjadi kewajiban Allah, dan sungguh tidak pantas kita, sebagai hamba, menuntut kewajiban Tuhan.
Yang patut kita renungkan, kenapa kita terus-menerus mengejar hak-hak kita kepada Allah? Kenapa kita tidak mengalihkan perhatian atas kewajiban-kewajiban yang harus kita tunaikan kepada Allah?
Namun, bisa pula kita berkilah bahwa telah menunaikan kewajiban-kewajiban dari Allah. Bahwa kita telah melaksanakan salat lima waktu rutin dan tepat waktu. Bahwa kita telah mengeluarkan zakat. Bahwa kita utuh sebulan puasa Ramadhan. Tapi kenapa pertolongan Allah tak juga datang? Kenapa kita masih terus-terusan terpinggirkan? Mana janji-Nya, bahwa kita akan ditegakkan sebagai umat yang terbaik, selagi menolong agama-Nya?
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7).
Itulah kiranya, untaian Syekh Ibnu ‘Athaillah ini perlu, bahkan amat penting, dikaji. “Jangan sampai tidak terwujudnya apa yang Dia janjikan membuatmu ragu.”
Karena, bisa jadi kita belum bersungguh-sungguh menegakkan kewajiban. Memang, kita tidak pernah absen dari salat berjamaah. Kita tidak pernah mangkir dari seruan untuk berdakwah. Namun, yang harus ditelisik, seberapa dalam kewajiban lahiriah itu merasuk ke dalam jiwa. Yang mesti kita perhatikan, apakah hakikat dari perintah-perintah itu telah sedemikian mendalam ke dalam diri. Jangan-jangan kita masih memelihara bersitan kesombongan. Merawat lintasan riya. Jangan-jangan kita masih suka atau bangga, ibadah rutin kita itu telah mencuri perhatian tetangga.
Maka, Syekh Ahmad Zarruq mewanti-wanti bahwa meyakini janji mesti teriring dengan melihat sisi batinnya, yakni selalu mengaitkan setiap urusan dengan syarat yang Allah sembunyikan. Sebab, tidak wajib bagi-Nya menyebutkan apa yang hendak Dia persyaratkan. Syarat lazim disimpan dalam hikmah-Nya, guna memperlihatkan rububiyah-Nya, dan untuk tetap mewujudkan ubudiyah dalam diri hamba.
Kita baca sirah, betapa Nabi Muhammad Saw. sedemikian agung, tapi beliau adalah orang yang paling merasa tidak melakukan kewajiban secara sempurna di hadapan-Nya. Paling merasa tidak sanggup bersyukur. Beliau salat malam, dan tidak pernah absen, karena sering kali dihinggapi kondisi terpuruk menganggap diri tidak dapat menunaikan hak-hak Allah.