Scroll untuk baca artikel
Blog

Bisakah Kita Memaklumi Penderitaan Juliari Batubara? Tidak.

Redaksi
×

Bisakah Kita Memaklumi Penderitaan Juliari Batubara? Tidak.

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Pembacaan putusan atas kasus korupsi bansos yang dilakukan Juliari Batubara telah dilaksanakan Senin (23/8/2021) kemarin.

Majelis hakim yang terdiri dari Muhammad Damis, Yusuf Pranowo, dan Joko Subagyo memutuskan Juliari terbukti menerima suap sebesar Rp32,48 miliar dalam pengadaan paket bantual sosial Covid-19.

“Mengadili, menyatakan Juliari P Batubara terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut,” ujar ketua majelis hakim Muhammad Damis.

Dalam fakta persidangan, terbukti duit hasil korupsi Juliari tidak hanya digunakan untuk keperluan pribadinya, tetapi juga dinikmati jajaran pejabat di Kemensos—total duit yang mengalir ke Juliari sendiri Rp15,1 miliar.

Secara rinci, dikutip dari Kompas, duit korupsi bansos di antaranya dipakai untuk sewa jet pribadi dalam kunjungan kerja Mensos ke Semarang, Bali, Luwuk Utara, dan Natuna; pembayaran honor pedangdut Cita Citata saat dinner pejabat Kemensos di Labuan Bajo, NTT; serta bayar honor pengacara Hotma Sitompul dalam kasus kekerasan anak di PN Jakarta Pusat.

“Dia (Juliari) sangat pantas dan tepat untuk mendekam seumur hidup di dalam penjara,” kata kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, dalam keterangan tertulis yang diterima Barisanco, Senin (23/8/2021).

ICW menilai tindakan korupsi Juliari sangat melukai hati masyarakat dan sepatutnya hakim bisa memberi hukuman yang lebih berat. Ada beberapa alasan yang dapat mendukung kesimpulan bahwa Juliari harus dihukum seumur hidup penjara.

Pertama, Juliari berbuat jahat saat ia duduk sebagai pejabat publik. Berdasarkan Pasal 52 KUHP hukuman Juliari mesti diperberat. Kedua, praktik lancung Juliari dilakukan di tengah kondisi bencana.​

“Hal ini menunjukkan betapa korupsi yang dilakukan Juliari sangat berdampak, baik dari segi ekonomi maupun kesehatan terhadap masyarakat,” kata Kurnia.​

Ketiga, hingga pembacaan nota pembelaan atau pledoi, Juliari tak kunjung mengakui perbuatannya. Padahal, sudah ada dua orang yang yang secara sah dan meyakinkan terbukti menyuap Juliari.

Akan tetapi majelis hakim hanya menghukum Juliari 12 tahun penjara. Dalam pertimbangannya, dinyatakan bahwa Juliari pantas mendapat keringanan lantaran selama ini sudah menderita dicerca, dimaki, dan dihina masyarakat.

​Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai pertimbangan soal hinaan ini berada dalam kapasitas hakim untuk menafsir gejala sosiologis dari perbuatan terdakwa. Dengan begitu, hakim bisa saja menafsir bahwa cercaan yang diterima Juliari adalah juga bentuk penghukuman publik. “Begitulah salah satu warna dari kebebasan hakim,” kata Fickar.

Di samping mempertimbangkan bully dari masyarakat, majelis hakim juga mempertimbangkan bahwa Juliari belum pernah dipidana dan selalu tepat waktu menghadiri persidangan. Selain itu, selama persidangan, Juliari dinilai tertib, sopan, dan kooperatif.

Padahal, perbuatan Juliari telah memenuhi kondisi “keadaan tertentu” pada UU Tipikor Pasal 2 Ayat 2. Dalam pasal itu, dinyatakan dalam keadaan tertentu terdakwa dapat dipidana mati.

​Pada Pasal 2 Ayat 2 bagian penjelasan tertera: “Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.”