Perilaku egois yang minus, tidak sebatas menyangkut ranah ekonomi sosial, tetapi juga bisa mendera pada gaya bertuhan. Seorang penganut agama dan atau kepercayaan, yang berpikir individualis dan egois, akan meniadakan orang lain yang juga sedang menempuh jalan menuju Tuhan.
Orang tersebut tidak rela kalau selain dirinya bisa masuk surga. Tiket surga hanya pantas untuk dirinya saja, sedang orang lain kalau pun dapat surga, harapannya tetap berada di bawah tingkat kelas dengan dirinya. Kalau perlu yang lain cukup di neraka saja. Surga hanya berhak bagi dirinya.
Keberagamaan egois, yang mengutamakan pemahamannya sendiri, telah melahirkan corak beragama antisosial. Memang rajin menjalani ritual ibadah, tapi perilaku kesehariannya senantiasa menganggap remeh pihak lain. Orang tersebut akan senang, kalau yang lain terjebak pada lembah dosa yang penuh nista. Akan senang kalau yang liyan difitnah sebagai pendosa. Akan beriang ria sekira yang lain sebagai penganut ajaran sesat, ajaran setan.
Prinsip egois, melahirkan kebanggaan pada diri sendiri yang cenderung menegasikan peran orang lain. Melahirkan sikap, bahwa hanya dirinya yang dekat Tuhan. Sedemikian hingga, ia tak akan merasa bersalah jika menumpahkan vonis sesat pada yang berbeda. Vonis kafir begitu gampang tumpah pada minoritas, atau yang berbeda keyakinan.
Maka, kembali ke plus minus egois dan individualis, baik yang dengan maupun tanpa “isme”, saya hanya kepingin mengetengahkan bahwa kita tidak bisa semudah mengeklaim: sifat egois dan individualis itu pasti jelek, pasti buruk dan pembawa petaka. Ada gejala individualisme yang sehat, semisal penghargaan atas keunikan setiap individu. Ada prinsip egoisme yang bagus, seperti kesanggupannya untuk berprestasi sesuai kemampuan, berpenampilan wajar dan mantap, tidak krisis diri. Artinya, keperluan yang hendak saya selipkan di sini adalah kesungguhan meneruskan suara nurani. Kesungguhan dalam memegang bara common sense