Ketika dirinya sudah terlumuri asmara cinta, apa yang ada pada dirinya berupa sikap dan perilaku keduniaan akan sirnya. Tidak tampak apa yang seharusnya dapat diindera.
Maka cinta terhadap kekasih akan melenyapkan egoisme dan cinta diri sehingga luhurlah jiwanya. Cinta menumbuhkan kebebasan dan jiwa untuk menjadi cinta.
Cinta Rumi kepada kawannya, Syamsuddin Tabriz, membuatnya bebas untuk menemukan ungkapan jiwanya sendiri yang menemukan saluran melalui puisinya. Cinta, jiwa, dan kebebasan menyatu.
Namun, pada saat itu terjadi, kehidupan Rumi berputar balik. Setelah menyatakan kebebasannya untuk mencintai dari jiwanya, Rumi tidak lagi berperilaku layaknya syaikh yang baik dan tidak lagi peduli dengan harapan-harapan yang lazim. Ia menjadi benar-benar bebas, hanya mempedulikan jiwanya sendiri dan cintanya yang bebas kepada Tuhan.
Jalaluddin Rumi berkata :
Lagi-lagi, aku berada dalam diriku sendiri
Aku berjalan pergi, tetapi ke sinilah aku berlayar kembali,
Kaki di udara, jungkir balik,
Seperti seorang wali ketika dia membuka matanya
Ditengah doa : sekarang, ruangan,
Taplak meja, wajah-wajah yang akrab.
Cinta Rumi kepada Ilahi menghendaki “keadaan mabuk” di mana keadaan ini mengisyaratkan tentang keintiman cinta Rumi kepada Tuhan. Dalam konteks ini, Rumi menerangkan simbol-simbol tertentu yang berkenaan dengan kemabukan, seperti anggur dan cawang. “Tuhan adalah cawang dan anggur: Dia tahu cinta seperti apa pun situasiku”.
Dalam syair berikut, Rumi mengekspresikan ekstase yang hebat ketika anggur cinta Ilahi menyentuh jiwanya :
Rembulan yang tak pernah disaksikan langit bahkan dalam mimpi, telah kembali.
Dan datanglah api yang tak bisa dipindahkan air apa pun.
Lihatlah rumah tubuh, dan pandanglah jiwaku, Ini membuat mabuk dan kerinduan itu dengan cawang cintanya.
Ketika pemilik kedai itu menjadi kekasih hatinya,
Darahku berubah menjadi anggur dan hatiku menjadi “kabab”.
Ketika pandangan dipenuhi ingatan kepadanya, datang suara:
Baguslah wahai cawang, hebatlah, wahai anggur.
Cinta ilahi membutuhkan keikhlasan yang dapat memelihara hati manusia dari syirik (kemusyrikan) dan mengantarkannya pada tingkat tauhid yang paling tinggi, yaitu ma’rifat kepada Allah (ma’rifatullah).
Jalaluddin Rumi, ketika mabuk cinta mencapai puncaknya, perkawinan jiwa dalam penyatuan mistik terjadi. Dalam penyatuan inilah perbedaan antara pencinta dan yang Dicinta sirna oleh perubahan ke dalam Hakikat Cinta Universal. Keadaan Rumi seperti ini, karena dipengaruhi oleh cinta yang begitu membara di hatinya. Cinta bisa mengkonsentrasikan semua daya.