Scroll untuk baca artikel
Analisis Awalil Rizky

Defisit APBN yang Tampak Buruk

Redaksi
×

Defisit APBN yang Tampak Buruk

Sebarkan artikel ini
Oleh: Awalil Rizky*

BARISAN.CO – Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers tentang APBN Kita edisi Desember memberi laporan umum realisasi APBN tahun 2020 hingga akhir November.

Pendapatan Negara mencapai Rp1.423 triliun atau 83,7% dari target yang ditetapkan oleh Perpres No.72/2020. Belanja Negara telah sebesar Rp2.307 triliun atau 84,2%. Dengan demikian, defisit mencapai Rp834 triliun.

Pembiayaan utang yang merupakan tambahan utang secara neto karena pengelolaan APBN telah mencapai Rp1.065 triliun. Lebih besar dari nilai defisit, karena sebagiannya untuk membiayai pengeluaran yang bersifat investasi atau pemberian pinjaman kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), dan Pemerintah Daerah.  

Bulan Desember sebagai waktu realisasi terakhir biasanya memang jauh lebih besar dalam hal pendapatan ataupun belanja dibanding bulan lainnya. Bukan semata-mata karena pelaksanaan teknis kegiatan, melainkan juga penyelesaian administrasi keuangan pada keduanya.  

Pendapatan yang hingga akhir November 2020 yang telah mencapai 83,7% dari target tadi secara persentase terbilang termasuk tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, kecuali tahun 2018.

Tentu salah satu sebabnya, target telah diturunkan secara drastis akibat pandemi Covid-19, dari Rp2.233 triliun menjadi Rp1.699 triliun.

Berdasar rerata tambahan persentase capaian bulan desember selama beberapa tahun terakhir, pendapatan bisa mencapai kisaran 98% dari targetnya hingga akhir tahun 2020. Secara nominal di kisaran Rp1.665 triliun.

Belanja yang hingga akhir November 2020 yang mencapai 84,2% dari target secara persentase juga terbilang termasuk tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, kecuali tahun 2018.

Tekad Pemerintah untuk mewujudkan kebijakan fiskal ekspansif, tampaknya telah diupayakan melalui tingkat serapan belanja yang tinggi. Berdasar rerata capaian tahun sebelumnya, kemungkinan serapan akan mencapai 99% dari pagunya. Secara nominal akan di kisaran Rp2.712 triliun.

Dengan demikian, defisit anggaran tahun 2020 kemungkinan sebesar Rp1.047 triliun. Sedikit lebih lebar dari targetnya yang sebesar Rp1.039 triliun. Namun dilihat dalam besaran persentasenya atas Produk Domestik Bruto (PDB) diprakirakan akan melebar lebih signifikan. Realisasi PDB nominal tahun 2020 akan lebih rendah dari asumsinya dalam Perpres No.72/2020.

Kita tidak hanya perlu diskusi tentang besaran defisit, yang salah satu cara menekannya adalah mengendalikan belanja. Namun mesti ditelisik, belanja apa yang terealisasi sesuai rencana dan apa yang tidak terserap. Misalkan ternyata, belanja yang tidak terealisasi justeru yang paling diandalkan dalam kebijakan utama Pemerintah. 

Siaran pers Kementerian Keuangan secara eksplisit menyimpulkan bahwa kinerja APBN hingga bulan November masih on track. Dikatakan bahwa belanja negara menjadi motor utama pertumbuhan yang bermanfaat bagi masyarakat dan mendukung momentum perbaikan ekonomi.

Padahal, meski secara keseluruhan serapan belanja telah mencapai 84,2% hingga akhir November, dan diprakirakan di kisaran 99% sampai akhir tahun, ada aspek belanja yang butuh perhatian serius. Salah satunya, laporan realisasi belanja terkait Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang sejatinya masih jauh untuk disebut optimal.

Pemerintah masih mengklaim bahwa realisasi PEN mencatat tren penyerapan positif sejak Semester I 2020, dan pada akhir kuartal IV ini menunjukkan akselerasi pencairan pada semua kluster. Namun, angka yang disajikan berupa realisasi yang sebesar Rp483,62 triliun hingga 14 Desember 2020.