DEMOKRASI itu konsensus. Demokrasi itu suara terbanyak. Maka demokrasi tak mengandaikan perubahan yang radikal. Bukan perubahan yang melahirkan chaos. Demokrasi, yang ditandai dengan pemilu, hanya akan melahirkan orang-orang yang tak mungkin berani meneguhkan apa yang telah dijanjikannya.
Masih jelas nyaring di telinga, seorang Jokowi yang “jumawa” mengatakan hanya akan tunduk pada kehendak rakyat, akan tunduk pada konstitusi, tapi seusai duduk di kursi empuk ia pun tak berkutik dengan tekanan yang anti rakyat. Bersama “salam dua jari” di periode pertama, yang konon akan menegakkan revolusi mental, kenyataannya tak sanggup bikin sesuatu yang dahsyat. Kebijakan “kerja”-nya sama saja dengan sudah-sudah.
Hal itu persis pula dengan Obama yang awal kekuasaannya digadang bakal sanggup menuntaskan konflik di Palestina. Senyatanya sama saja dengan presiden sebelumnya yang tak bisa “kejam” terhadap zionis Yahudi. Sama saja dengan Bush yang tak adil dengan Palestina, sama saja bersikap nyinyir terhadap Hamas. Dan itu terjadi sebagai out put demokrasi. Demokrasi yang mustahil berperilaku ekstrem. Sebab ekstrem itu hanya milik minoritas, padahal demokrasi ada dan hanya untuk mayoritas.
Lantas? Anti demokrasi? Berarti anti mayoritas dong. Kembali ke monarki? Pada dinasti yang tampuk kekuasaannya bergulir turun temurun? Tidak juga, sebab lonceng zaman telah berpihak. Telah menetapkan pilihan pada demokrasi.
Saya dan anda-anda semua merupakan bagian dari mayoritas, entah yang diam saja demi kenyamanan maupun yang sok lantang laiknya aktivis, sama-sama dihentikan oleh jumlah suara yang terbanyak. Yang menerima demokrasi maupun yang menentang. Yang ikut masuk ke bilik suara maupun yang anti nyoblos. Tetap saja dalam pusaran demokrasi. Memang demokrasi mengecewakan, tapi kita tak bisa berkelit darinya.
Bagaimanapun demokrasi itu konsensus. Dan masyarakat diam yang mayoritas tak menghendaki adanya radikalisme. Hidup harmoni yang tanpa keributan. Hidup guyub rukun yang tanpa kekerasan, jadi idaman setiap kita.
Akal sehat telah menjelaskan bahwa perubahan mesti radikal, bersifat revolusi. Namun kenyataan sering berjalan dalam harmoni yang tak menyentuh akar masalah. Kenyataan punya hukum yang berlepas dari common sense. Kenyataan tetap jadi milik yang mendambakan tata tentrem, jadi milik yang meneguhkan naluri alias bawaan lahir.
Yang revolusi, perubahan yang sampai ke akar-akarnya adalah jenis “perintah”. Naluri kita setuju dengan perintah atau keharusan, namun tak rela untuk jadi laku. Naluri kita sepakat adanya perubahan, tapi dalam langkahnya tetap menghendaki adanya kesinambungan yang tak menciderai kebiasaan.
Demokrasi itu konsensus, artinya upaya pelanggengan kebiasaan terus menerus. Dulu Soekarno mendapati gelar “pemimpin besar revolusi”, dan Soeharto melanjutkannya dengan sebutan “bapak pembangunan”. Soekarno sukses menancapkan doktrin demokrasi terpimpin, giliran Soeharto meneruskannya jadi demokrasi Pancasila.
Yang mana keduanya tiada beda. Sama-sama menyifatkan diri sebagai pemimpin yang kharismatik sekaligus otoriter khas raja tempo dulu. Sama-sama mewariskan ideologi tertutup yang antikritik, anti kebebasan berpendapat. Dan kini sudah lebih dari dua dasawarsa, reformasi digulirkan, tapi demokrasi tetap saja.
Demokrasi memelihara budaya korupsi, memelihara feodalisme. Berkat demokrasi, korupsi kian meluas dan kian vulgar. Banyak pejabat yang diseret, namun belum ada yang berani menyentuh gurita istana. Keluarga istana tetap bisa melenggang, terbebas dari jeratan bui. Seolah ada ketetapan, “siapa pun yang tersangka korupsi, niscaya akan dipenjarakan, kecuali si dia.”