Scroll untuk baca artikel
Blog

Demokrasi Wakil Rakyat

Redaksi
×

Demokrasi Wakil Rakyat

Sebarkan artikel ini

Mata Budaya (9)

Seorang sahabat curhat secara memelas dan nyaris putusasa. Betapa oleh dunia gadget, harmoni keluarganya mengalami perubahan drastis. Istri dan anak-anaknya suntuk dengan ponsel masing-masing hampir 24 jam. Bahkan untuk komunikasi dari kamar istri ke kamar anak pun dilakukan melalui on line.

Tidak ada lagi suasana seperti dulu, ngobrol di ruang keluarga atau di meja makan. Seperti tengah terjadi kehidupan anti sosial, bahkan dalam hubungan internal keluarga di dalam rumah. Memang mencemaskan jika kondisi a-sosial juga terjadi di tengah setiap keluarga. Setiap anggota keluarga asyik sendiri, dan hanya mewakili dirinya sendiri secara personal subyektif.

“Kalau mereka saya ajak berbicara, mereka menganggapnya sebagai gangguan,” keluh si sahabat.

Pertanyaannya, bagaimana kalau kondisi egosentris ini berlangsung juga dalam dunia politik, sebagai pilar utama demokrasi. Kenyataan menunjukkan, korupsi terus terjadi di lingkaran legislatif. Betapa anggota Dewan yang adalah wakil rakyat justru menciderai rakyat.

Pencideraan ini begitu menikam hati rakyat, langsung di ulu hati. Betapa tidak? Mereka dipilih langsung oleh rakyat dengan kepercayaan penuh dari dasar hati nurani. Dengan harapan suara dan aspirasi rakyat terwakili, demi kesejahteraan hajat hidup masyarakat.

Tapi apa yang terjadi, mereka melakukan korupsi milyaran hingga triliunan rupiah, yang hakikatnya mencuri uang rakyat. Bahkan mereka lakukan itu, dengan sebelumnya berpose di televisi, menyuarakan anti korupsi, membuat rakyat semakin percaya dan yakin terhadap wakilnya.

Dalam dunia pewayangan, yang kerap menjadi duta atau mewakili satu demokrasi perwakilan adalah Durna yang dikenal sebagai guru Astina maupun Pandawa. Akan tetapi dalam setiap lakon pakeliran, Durna selalu hanya menjadi wakil dirinya, demi kepentingan pribadi dan napsu angkara murkanya.

Demikianlah yang terjadi pada Durna-Durna di jagad nyata. Jelas-jelas penamaannya saja wakil rakyat, tapi mereka tidak mewakili kepentingan rakyat melainkan kepentingan kelompok dan pribadinya. Samasekali tidak ada kepedulian terhadap rakyat yang diwakilinya.

Ya, mereka bukan wakil rakyat, tapi wakil partai, atau wakil egonya.

Di sini, demokrasi wakil rakyat telah sampai pada pembusukan paling aib dan berlumur dosa: menganggap rakyat mati setiap kali.

Sang sahabat termangu seraya bergumam: betapa aib dosa itu dimulai dari setiap keluarga…***