SECARA umum demokrasi dipahami sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Ini menandakan dalam negara demokrasi, rakyat merupakan pemegang daulat tertinggi. Individu atau kelompok yang menjalankan pemerintahan hanya menjalankan mandat rakyat, tetapi ia bukan pemegang mandat tersebut: mandat tetap berada di tangan rakyat, dan berhak dicabut sewaktu-waktu bila itu dirasa perlu.
Sebab tugasnya adalah menjalankan mandat rakyat, maka individu atau kelompok yang menjalankan pemerintahan harus memastikan bahwa hukum dan aturan yang dikeluarkan, selalu terlebih dahulu menimbang dan mendengarkan aspirasi rakyat. Model pengambilan keputusan seperti ini disebut model deliberatif.
Ide demokrasi deliberatif tidak bisa dilepaskan dari filsuf sekaligus sosiolog terkemuka asal Jerman, Jurgen Habermas. Kata deliberatif sendiri berasal dari bahasa latin ‘deliberatio’, lalu menjadi ‘deliberation’ dalam bahasa inggris. Secara harfiah bisa bermakna konsultasi, menimbang-nimbang, atau dalam istilah politik bisa dimaknai musyawarah.
Fokus teori demokrasi deliberatif bukan pada bagaimana sebuah aturan mengikat rakyat. Teori demokrasi deliberatif lebih tertarik menganalisa proses perumusan aturan. Dalam kacamata demokrasi deliberatif, diskursus berupa opini dan pandangan rakyat yang berkembang di ruang publik mesti menjadi dasar pertimbangan guna melahirkan aturan. Tidak dibenarkan bila pemerintah hanya mencermati, tetapi tak mengacuhkan pandangan rakyat di ruang publik.
Dalam memandang hukum dan aturan, teori demokrasi liberatif Jurgen Habermas berbeda dengan paham republikan yang meneruskan gagasan kenegaraan Rousseau. Bagi Rousseau, ketundukan terhadap hukum bersifat mutlak, dan hukum dinilai sebagai kehendak mayoritas rakyat.
Sebaliknya Jurgen Habermas menilai, kehendak mayoritas rakyat yang dicerminkan oleh hukum sifatnya sangat ambigu. Proses perumusan hukumnya rawan dengan lobby kepentingan tertentu. Sehingga, sangat mungkin hukum tidak mencerminkan kehendak mayoritas rakyat—dan justru mencerminkan kepentingan pemenang lobby.
Hukum dan aturan yang ideal adalah hukum yang terbentuk dari hasil diskursus atau dialog di tengah masyarakat sipil.
Jika mengacu ke konteks Indonesia, belum bisa disebut demokrasi deliberatif telah terwujud. Yang terjadi adalah demokrasi setengah deliberatif. Hukum dan aturan yang diberlakukan, ada yang mengindahkan pandangan masyarakat, akan tetapi lebih banyak yang justru mengabaikan dialog masyarakat di ruang publik.
Komitmen pemerintah menjadikan pandangan rakyat sebagai dasar pertimbangan mengambil keputusan masih bersifat semu: kadang dilakukan namun sering pula tidak—dan semuanya diukur pada aspek kepentingan kekuasaan.
Bila dirasa tidak mengganggu kepentingan kekuasaan, maka pandangan rakyat akan dijadikan dasar pembuatan keputusan. Tetapi bila dianggap mengancam kepentingan kekuasaan, maka pandangan tersebut akan ditolak. Lebih jauh pandangan itu bisa dicurigai dengan alasan tak berdasar, bisa dituduh sebagai pesanan oposisi. Lebih jauh bahkan bisa dikenai tuduhan subversif, yakni bertujuan menggulingkan pemerintahan.
Masalah mendasar dari pemerintah terletak pada pola pikir. Pemerintah masih senang mengembangkan pola pikir curiga kepada rakyat sendiri. Kritik dalam bentuk pandangan yang dialamatkan kepada pemerintah tidak jarang dipandang sebagai ancaman. Pemerintah seolah lupa bahwa mereka ‘hanya’ menjalankan mandat rakyat. Mereka bertingkah seolah sebagai pemilik mandat.
Sangat penting bagi rakyat untuk ‘berteriak’ lebih lantang di ruang publik. Bukan hanya lantang tetapi juga harus solid. Berteriak dengan suara yang sama untuk sebuah isu, mengacu pada kenyataan, tidak jarang mampu mengubah arah kebijakan pemerintah.