Scroll untuk baca artikel
Opini

Hari-hari Dipenuhi Sirene

Redaksi
×

Hari-hari Dipenuhi Sirene

Sebarkan artikel ini

Sejak semula Jakarta adalah inkubator wabah. Kasus Covid-19 pertama muncul di sini, dan belum ada isyarat kota ini berhenti menambah kasus positif baru. Di kota inipun suara sirene makin sering terdengar di jalanan.

Dari koordinat saya tinggal di Jatinegara, suara sirene terdengar muncul dari timur menuju barat. Mudah sekali berasumsi itu adalah ambulans, yang sedang mengantar satu lagi kasus positif Covid-19 menuju bangsal perawatan. Meski bisa juga diasumsikan suara sirene itu datang dari mobil pejabat, atau patroli polisi, atau damkar, kemungkinannya relatif kecil.

Memang dalam konteks metropolitan, bunyi sirene adalah lumrah, dan cukup sulit melepaskannya dari hiruk-pikuk kota. Bahkan bisa dikatakan, sirene merupakan pendukung kebudayaan yang ikut membentuk wajah kota—atau urban soundscape dalam bahasa musikolog R. Murray Schafer.

Masalahnya: manusia sulit mengabaikan suara nyaring yang bersifat kontinyu. Dan itu menjadikan pendengar sirene, mau tak mau, selalu terlibat friksi (dan stres) dalam dirinya masing-masing. Betapapun sirene pada awalnya merupakan sejarah musik, rasanya hampir tidak ada bunyi ‘uwiw-uwiw’ yang menentramkan manusia, yang secara alami dilahirkan berbekal rasa takut pada suara nyaring.

Apalagi, secara eksplisit orang mengenal sirene sebagai awal ketidakberesan. Dulu sirene identik dengan perang, lalu sempat didekatkan dengan sentimen teror. Seiring zaman, posisi sirene makin kokoh sebagai penanda dari tiap bencana yang mendekat.

Covid-19 jelas bencana, dan diperlukan daya administratif yang baik oleh pemerintah untuk menanganinya. Di Jakarta, masuk ke semester kedua 2020, Gubernur Anies Baswedan mulai menggaungkan konsep ‘transisi’.

Anies mengajak seisi kota berkolaborasi menuju masa depan aman, sehat, dan produktif. Idenya tentang transisi itu patut diapresiasi. Daripada new normal, gagasan transisi lebih tepat diucapkan, karena membawa perasaan “kita tidak sedang mundur”.

Yang jelas, perasaan semacam itu harus diyakini. Kita tentu saja tidak mau mundur ke kondisi beberapa bulan lalu, di mana histeria massal membuat orang terkungkung rasa takut terhadap entitas mikroskopik yang—bahkan sampai sekarang—belum genap informasinya.

Namun masih sulit membayangkan Jakarta yang aman, sehat, dan produktif, selama Anies belum menemukan cara-cara praktis menuju ke arah sana. Pembatasan sosial yang ia lakukan, seturut waktu semakin mendapat sanggahan dari masyarakat yang tidak sanggup menahan kebosanan, serta didesak kebutuhan.

Persoalan bagi Anies semakin menjadi, mengingat pananganan Covid-19 bukan cuma bergantung pada satu-dua penyelesaian teknokratis di tatar lokal. Apalagi pada prinsip utamanya, pandemi akan dapat tertangani jika, dan hanya jika, kepemimpinan di tingkat tertinggi berjalan dengan baik.

Anda tahu, sesuatu yang dimulai dari tingkat tertinggi tentu saja memiliki dampak yang luas. Dalam pada itu, kita belum merasakan banyak hal, dan masih harus sabar menunggu.

Sementara di koordinat saya di Jatinegara, sambil mendengar sirene yang makin intens, saya masih percaya akan datangnya kebijakan baik, yang bisa mengantar kita menuju hari yang lebih baik. Dan kebijakan baik itu, biasanya, dimulai dari kemauan para pemimpin tertinggi untuk mendengar. []