Tentang rasio tahun 2019 ini saja telah diingatkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui riviunya. Rasionya melonjak menjadi 46,76% pada tahun 2020 dan kembali diingatkan oleh BPK. Pada tahun 2021 dan 2022 pun diprakirakan masih meningkat menjadi 48,75% dan 49,07%.
Peningkatan beban utang seberat itu terkonfirmasi pula dari masih besarnya defisit keseimbangan primer. Seluruh pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga utang tiap tahun masih dibayar dengan hasil penarikan utang baru.
Dengan kata lain, risiko gagal bayar utang sangat bergantung pada ketersediaan sumber utang baru dari tahun ke tahun.
Kesulitan memperoleh utang baru telah tampak pada tahun 2021. Sumber utama berupa penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) makin mengandalkan pembelian oleh Bank Indonesia dan Bank Umum. Porsi kepemilikan keduanya terus meningkat, terutama pada SBN berdenominasi rupiah (domestik).
Kepemilikan asing atas SBN domestik justru sedikit menurun. Terindikasi, pihak asing masih “wait and see” atas kondisi utang pemerintah Indonesia. Sementara itu, meski tetap meningkat, daya serap lembaga pensiun, asuransi dan perorangan jelas terbatas.
Tampaknya hal ini cukup disadari oleh Pemerintah pada beberapa bulan terakhir. Sebagian rencana penerbitan SBN tahun 2021 dibatalkan. Tentu saja ada sedikit faktor pendapatan yang melampaui target dan belanja yang lebih dikendalikan.
Bagaimanapun soal kebutuhan sumber pembiayaan utang ini akan meningkatkan risiko fiskal. Dan ada soalan tambahan yang diakibatkannya, yaitu “perebutan sumber dana” dengan masyarakat dan dunia usaha. Bank umum masih akan cenderung menyalurkan kredit secara konservatif, karena ada membeli SBN merupakan pilihan yang menguntungkan.
Secara umum, tulisan bagian ini memperkuat simpulan bahwa belum terjadi pemulihan ekonomi tahun 2021 dan masih cukup sulit untuk tahun 2022. [dmr]