Akibatnya tambahan utang pemerintah selama tiga tahun berturut-turut (2020-2022) jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Posisi utang pada akhir tahun meningkat pesat. Posisi utang akhir tahun 2020 mencapai Rp6.080 triliun, melonjak dari posisi akhir tahun 2019 yang sebesar Rp4.787 triliun. Diprakirakan meningkat menjadi sekitar Rp7.000 triliun dan Rp8.000 triliun pada akhir tahun 2021 dan 2022.
Masih lebarnya defisit dan kebutuhan berutang yang tinggi mencerminkan pandangan pemerintah bahwa perekonomian belum pulih hingga tahun 2022. Pemerintah masih menerapkan kebijakan fiskal yang sangat ekspansif, dan berasumsi menjadi dorongan besar bagi pertumbuhan ekonomi.
Bagaimanapun harus diperhatikan bahwa kebijakan fiskal yang cukup ekspansif telah diterapkan sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi. Ketika terjadi resesi akibat pandemi, maka tambahan ekspansi berdampak pada beban utang yang meningkat sangat pesat.
Beban utang dimaksud berupa pelunasan pokok utang dan pembayaran bunga utang. Sebelum pandemi saja, rasionya atas pendapatan negara telah mencapai 42,74% pada tahun 2019. Telah melampaui batas rekomendasi dari International Monetary Fund (IMF) dan International Debt Relief (IDR).
Tentang rasio tahun 2019 ini saja telah diingatkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui riviunya. Rasionya melonjak menjadi 46,76% pada tahun 2020 dan kembali diingatkan oleh BPK. Pada tahun 2021 dan 2022 pun diprakirakan masih meningkat menjadi 48,75% dan 49,07%.
Peningkatan beban utang seberat itu terkonfirmasi pula dari masih besarnya defisit keseimbangan primer. Seluruh pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga utang tiap tahun masih dibayar dengan hasil penarikan utang baru.
Dengan kata lain, risiko gagal bayar utang sangat bergantung pada ketersediaan sumber utang baru dari tahun ke tahun.
Kesulitan memperoleh utang baru telah tampak pada tahun 2021. Sumber utama berupa penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) makin mengandalkan pembelian oleh Bank Indonesia dan Bank Umum. Porsi kepemilikan keduanya terus meningkat, terutama pada SBN berdenominasi rupiah (domestik).
Kepemilikan asing atas SBN domestik justru sedikit menurun. Terindikasi, pihak asing masih “wait and see” atas kondisi utang pemerintah Indonesia. Sementara itu, meski tetap meningkat, daya serap lembaga pensiun, asuransi dan perorangan jelas terbatas.
Tampaknya hal ini cukup disadari oleh Pemerintah pada beberapa bulan terakhir. Sebagian rencana penerbitan SBN tahun 2021 dibatalkan. Tentu saja ada sedikit faktor pendapatan yang melampaui target dan belanja yang lebih dikendalikan.