Scroll untuk baca artikel
Fokus

[FOKUS] Pesona Pesantren Belum Tergeser

Redaksi
×

[FOKUS] Pesona Pesantren Belum Tergeser

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Sistem pendidikan di bumi nusantara punya sejarah panjang. Konsep dan penyebutannya berkembang sesuai zaman. Dari beberapa catatan, Padepokan paling banyak disebut sebagai tempat menimba ilmu paling tua di nusantara.

Sejalan pengaruh Hindu-Buddha, Padepokan berubah menjadi Ashram. Kedatangan Islam lalu mengubah Ashram menjadi Pondok Pesantren (Ponpes). Sejak ada gelombang modernitas, Ponpes kemudian digantikan perannya oleh Sekolah.

Semua konsep tempat mendidik itu—kecuali sekolah—punya tradisi mengharuskan pencari ilmu (siswa) untuk ‘tinggal menetap’ dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Setidaknya sampai sang siswa merasa pembelajaran yang ia dapat sudah cukup.

Bisa dikata, pondok pesantren adalah pewaris terakhir tradisi tersebut. Pondok sendiri, berasal dari kata arab funduq, artinya tempat menyepi dari pola hidup sehari-hari.

Sementara sekolah, sistem pendidikan yang baru muncul di abad modern itu, tidak lagi bertumpu pada keharusan siswanya untuk mondok atau menetap.

Meski tidak meneruskan watak kepondokan, bukan berarti sekolah merupakan sistem pendidikan yang terlepas dari akar sejarah nusantara. Setidaknya sekolah masih punya watak kepesantrenan, di mana nuansa intramural dan bentuk-bentuk penghormatan terhadap guru masih dipertahankan.

Namun dalam soal ini, menarik untuk melihat catatan lama yang pernah dibuat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang masih relevan diucapkan hari ini.

Gus Dur mencatat bahwa, dalam abad modern ini, pesantren menghadapi tantangan-tantangan Barat dari proses modernisasi, yang dalam banyak hal berarti ‘pembaratan’ dalam bentuknya yang vulgar.

“Akibat suasana penuh tantangan dari respons yang lebih banyak berupa imitasi ‘proses pembaratan’ itu sendiri,” tulis Gus Dur, “Maka yang dikejar bukanlah standardisasi ilmu pengetahuan agama, melainkan penghargaan yang terlalu berlebih kepada ijazah/diploma dari sekolah-sekolah tersebut.”

Berbeda dari perolehan ijazah cara lama—yang bertumpukan pengalaman tata nilai yang dipercaya dalam kehidupan sehari-hari—pencarian ijazah ‘model baru’ sama sekali tidak mengindahkan pengalaman tata nilai tersebut. Tata nilai yang dimaksud terdiri dua unsur utama: peniruan dan pengekangan.

Peniruan, masih menurut Gus Dur, adalah usaha terus-menerus secara sadar untuk memindahkan pola kehidupan para sahabat Nabi Saw dan para ulama salaf ke dalam praktik kehidupan di pesantren. Sedang pengekangan, memiliki perwujudan utama dalam disiplin sosial yang ketat di pesantren.

Menarik melihat bagaimana dua nilai ini masih menjadi daya tarik pesantren dewasa ini. Banyak orangtua masih bersedia mengirim anaknya ke pondok, lantaran meyakini nilai-nilai di dalamnya dapat membentuk sikap hidup anak mereka.

Namun, banyak hal yang makin menjadi tantangan bagi eksistensi pesantren. Terutama atas kemampuannya mengintregasikan diri dalam hidup modern, tanpa mengorbankan nilai-nilai (keislaman), yang dirasakan semakin penting untuk dimiliki pesantren di manapun.

Pesantren Kiai Marogan, salah satunya, menerjemahkan kebutuhan itu ke dalam bentuk wirausaha santri. Terletak di Palembang, Sumatra Selatan, pesantren ini berupaya untuk memberdayakan santri-santrinya yang kebanyakan adalah anak yatim dan dhuafa.

Pesantren ini mengambil nama Kiai Marogan (Masagus Haji Abdul Hamid), ulama kharismatik yang hidup di Abad 19. “Beliau selain sebagai ulama, juga merupakan saudagar di bidang saw mill (penggergajian kayu). Di zaman itu, beliau sudah memakai teknologi mesin uap, sehingga sehari bisa menghasilkan 250 papan kayu.” Ujar pengasuh Ponpes Kiai Marogan, Masagus Fauzan Yayan, dalam acara Mimbar Virtual barisanco, Selasa (20/10).