BARISAN.CO – Islam memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada manusia untuk memilih tindakannya. Akan tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tanggung jawab manusia itu sendiri, sesuai dengan petunjuk al-Qur’an dalam memanfaatkan kebebasan tersebut.
Allah Swt memberikan kebebasan itu yang disebut sebagai hak asasi manusia. Manusia bebas berbuat apa saja, tetapi harus senantiasa dibarengi dengan tanggung jawab. Hak asasi manusia diberikan oleh Allah Swt kepada semua manusia ciptaan-Nya dengan tujuan agar manusia dapat memanfaatkan hak-haknya tersebut dengan sebaik-baiknya. Sehingga dapat melaksanakan tanggung jawab menjadi pemimpin di dunia
Diskursus mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) sebenarnya bukan hal yang baru. Kehidupan manusia HAM sudah sejak lama dipermasalahkan karena penegakan keadilan. Banyak sejarah umat manusia yang menceritakan kehancuran suatu bangsa atau negara yang disebabkan karena kurangnya keadilan para penguasa dalam memerintah.
HAM dari masa ke masa selalu berkembang seiring dengan berkembangnya pemikiran manusia dan kemajuan jaman. Kalau dulu, hak asasi manusia dilihat hanya sebatas hak-hak sipil dan politik, maka sekarang hak asasi manusia mencakup pula hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Banyak orang yang semakin memahami dan menyadari hak-hak asasinya. Pelaksanaan HAM di segala bidang harus benar-benar diterapkan untuk menghindari konflik sosial dalam masyarakat. Itulah sebabnya mengapa HAM bernilai relevan dan tetap up to date (sesuai dengan perkembangan jaman) hingga sekarang.
Pelanggaran HAM sering terjadi dimana-mana, baik di negara berkembang, maupun di negara maju. Hal ini karena pemahaman HAM yang berbeda antara masyarakat Barat dengan masyarakat Timur yang mempunyai kultur dan kebiasaan berbeda. Maka perlu dua pendekatan HAM yakni pendekatan Barat dan pendekatan Islam.
Konsep HAM
Dunia Barat selalu menisbahkan konsep mengenai HAM kepada Piagam Magna Carta di Inggris pada tahun 1215 yang sebenarnya tidak lebih dari sekedar sebuah perjanjian antara raja dan baron (bangsawan) Inggris.
Sebelumnya piagam tersebut tidak berisi prinsip-prinsip trial by juri (peradilan oleh juri), Habeas Corpis (surat perintah penahan) dan pengawasan parlemen atas hak pajak. Setelah abad ke-17 barulah dapat diketahui bahwa piagam Magna Carta mengandung prinsip-prinsip tersebut.
Konsep mengenai HAM banyak tertuang dalam undang-undang atau konstitusi yang berasal dari gagasan-gagasan para filosof dan pemikir hukum, seperti adanya Bill of Rights pada tahun 1688, Declaration of Independence pada tahun 1788 dan French Declaration pada tahun 1789.
Puncak dari perkembangan konsep ini adalah dengan adanya deklarasi hak-hak asasi manusia sedunia oleh PBB yang dikenal dengan the Universal Declaration of Human Right (pernyataan HAM sedunia) pada tahun 1948.
The Universal Declaration of Human Right ini dibentuk karena banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di beberapa negara sebagai akibat adanya perang dunia I dan perang dunia II yang membawa banyak kesengsaraan dan penderitaan pada rakyat.
Menurut Alwi Shihab dalam bukunya Islam Inklusif (Mizan/1999), Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dibentuk oleh PBB ini banyak diwarnai oleh perspektif barat sekuler yang bersifat antroposentris, yakni lebih menekankan peranan manusia dan kebebasan serta haknya, ketimbang perspektif agama yang teosentris, yang menekankan peranan Tuhan dalam menentukan HAM.
Konsep HAM tidak secara langsung disandarkan pada pemberian Allah Swt yang mutlak, tetapi merupakan konsep yang disusun oleh manusia dan disetujui oleh manusia lain. Dengan demikian, seolah-olah HAM merupakan hak manusia yang dengan sendirinya sudah dimiliki manusia tersebut dan bukan merupakan anugerah Allah Swt.
Selain itu, menurut Alwi Shihab, deklarasi PBB juga bersifat individualistik dan kurang menekankan pentingnya solidaritas dan kebutuhan orang banyak.