Meski banyak kasus kekerasan yang dialami, UU PRT masih belum juga disahkan. Padahal, tanpa adanya perlindungan, nasib mereka akan terlunta-lunta.
BARISAN.CO – Pada akhir abad kesembilan belas, kondisi kelas pekerja amat memprihatinkan dengan jam kerja 10 hingga 16 jam tiap hari. Akibatnya, ribuan laki-laki, perempuan, dan anak-anak sekarat di tempat kerja. Ditambah, kematian dan cedera menjadi hal yang sering mempeparah kehidupan mereka.
Berbagai organisasi sosialis pun bermunculan mulai dari partai politik hingga kelompok paduan suara.
Tahun 1884, di Konvensi nasional di Chicago, Federasi Perdagangan Teror dan Serikat Buruh, yang kini bernama Federasi Tenaga Kerja Amerika memproklamirkan, sejak 1 Mei 1886 dan selanjutnya, delapan jam kerja resmi menjadi batas maksimal jam kerja.
Baru pada 1894, Amerika Serikat menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional. Sedangkan, di Indonesia, Hari Buruh pertama kali dijadikan hari libur nasional pada tahun 2014.
Di Afrika Selatan, semua pekerja rumah tangga yang bekerja selama 24 jam atau lebih tiap bulannya harus mendaftar ke Unemployment Insurance Fund (UIF) melalui Departemen Tenaga Kerja. Pekerja yang diklasifikasikan sebagai PRT, tukang kebun, pengasuh anak, dan sopir di sana di atur oleh penentuan sektoral 7 tentang upah minimum untuk pekerja rumah tangga.
Sejak 3 Februari 2022, hadir tarif baru yang berlaku, yakni bagi PRT berhak mendapatkan upah minimum R23,19 atau sekitar Rp21.000 perjamnya. Jam kerjanya maksimal 45 jam per minggu. Jika lebih dari jam kerja yang berlaku, maka masuk dalam lembur dan upahnya dihitung 1,5 kali lipat dari upah per jam.
Hari Minggu dihitung 2 kali lipat upah per jam. Sedangkan mereka yang bekerja pada hari libur nasional, upahnya dihitung atas upah satu hari tambahan, R185,52 untuk 8 jam kerja.
Di New York lebih spesifik lagi. Sejak tahun 2010, bukan hanya jam kerja dan gaji, di bawah UU Perburuhan negara bagian ini, PRT bahkan memperoleh perlindungan terhadap bentuk pelecehan tertentu dan perlindungan jika pegawai mengadukan majikannya yang melecehkannya.
Begitu juga PRT memperoleh asuransi kompensasi apabila mengalami cedera dan asuransi tunjangan jika pekerja terluka atau jatuh sakit yang berakibat tidak bisa masuk kerja selama lebih dari tujuh hari.
Berdasarkan data Labour Right Index 2020, Indonesia mendapatkan skor 60.5 atau digolongkan akses mendapatkan pekerjaan yang layak masih terbatas.
Padahal, salah satu poin 8 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ialah menciptakan lapangan kerja yang layak bagi semua. International Labour Organization (ILO) di tahun 2015 mengungkapkan, jumlah PRT di tanah air sekitar 4,2 juta orang. Angkanya diperkirakan terus meningkat.
ILO memperkirakan, jumlah pekerja domestik di seluruh dunia mencapai 67 juta orang. Pekerja rumah tangga adalah bagian penting dari angkatan kerja global dalam pekerjaan informal dan masuk ke dalam kelompok pekerja paling rentan.
Mereka bekerja untuk rumah tangga pribadi, seringkali tanpa syarat kerja yang jelas, tidak terdaftar, dan dikecualikan dalam ruang lingkup UU ketenagakerjaan.
Ini yang dialami oleh PRT di tanah air. Mereka tidak dilindungi oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Tahun lalu, kisah miris terkuak dari seorang Asisten Rumah Tangga (ART) berinisial EAS yang mengalami kekerasan fisik dan dipaksa makan kotoran kucing oleh majikannya. Selama 13 bulan bekerja, dia juga hanya menerima gaji satu kali saja. Itu pun tidak sesuai dengan kesepakatan awal.
EAS bukan satu-satunya korban kekerasan sebagai PRT. Masih banyak kasus lain baik di tanah air maupun yang mencoba mengubah nasib menjadi Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri.
Tingginya jumlah PRT di tanah air, namun tanpa adanya perlindungan hukum yang jelas, nasibnya menjadi terlunta-lunta. Dengan disahkannya RUU tersebut, maka mulai dari upah, waktu kerja, cuti, hingga pelatihan akan turut diatur. Dan, ini juga akan membuat mereka memperoleh hak yang layak.