Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Kaidah Demokrasi

Redaksi
×

Kaidah Demokrasi

Sebarkan artikel ini

KONON demokrasi itu adalah sistem pemerintahan rakyat. Bentuk kekuasaan yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama bagi segenap warga negara. Nah, Kuntowijoyo dalam Identitas Politik Umat Islam menyusun kaidah-kaidah demokrasi.

Pertama, ta’aruf (saling mengenal). Dalam surat Al-Hujurat: 13, terdapat ungkapan bahwa tujuan pengelompokan manusia, yang berlatar beda, adalah ta’aruf, saling mengenal. Saling mengerti kepentingan satu sama lain, sehingga hak-hak antarsesama tidak dilanggar.

Ta’aruf mensyaratkan persamaan. Tidak ada warga yang dinomorsekiankan, apa pun suku dan agama yang melekati. Ta’aruf juga berasumsi adanya kebebasan. Ta’aruf juga berarti adanya komunikasi dialogis.

Tidak ada dominasi satu kelompok atas kelompok lain. Hak-hak terselenggara tidak monologis kelompok mayoritas. Ta’aruf juga mengandaikan negara hukum, bukan anarkis yang tidak percaya negara, pemerintah, dan hukum.

Kedua, syura (musyawarah). Dalam surat Asy-Syura: 38, “… dan orang-orang yang aturannya [dalam semua urusan yang menyangkut kepentingan Bersama] adalah musyawarah di antara mereka, ….”  Juga dalam surat Ali Imran: 159, “… Dan, bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan yang menyangkut kepentingan masyarakat umum, ….”

Muhammad Asad, dalam The Message of the Quran, menjelaskan bahwa pemerintahan melalui mufakat dan dewan itu sebagai klausul fundamental dari seluruh hukum Al-Quran tentang kenegaraan.

Dalam praktik yang ditelandankan Nabi saw. pun betapa beliau sangat menghargai musyawarah. Nabi Muhammad saw. menyelenggarakan musyawarah jelang Perang Uhud. Sang nabi berpendapat bahwa lebih baik bertahan dalam kota, tapi mayoritas sahabat menghendaki berperang di luar kota.

Dan, Nabi saw. mengalah kepada kehendak mayoritas, meski akhirnya, kita tahu dalam perang di Bukit Uhud itu kaum muslim mengalami kekalahan. Banyak jatuh korban di tubuh umat Islam, termasuk Nabi Muhammad saw. terluka. Itu berarti, dalam musyawarah proses lebih penting dari hasil.

Ketiga, ta’awun (kerja sama). Dalam surat Al-Maidah: 2, “… dan tolong-menolonglah dalam menyuburkan kebajikan dan kesadaran akan Allah, dan janganlah tolong-menolong dalam neyuburkan kejahatan dan permusuhan; dan tetaplah sadar akan Allah ….”

Kuntowijoyo mencatat ada dua kepentingan yang diharuskan untuk bekerja sama: kepentingan manusia dan “kepentingan” Tuhan. Dan, kepentingan manusia bersierat dengan kepentingan ekonomi.

Dalam surat Ali Imran: 92, “[Adapun kalian, wahai orang-orang beriman,] tidak akan pernah kalian meraih kesalehan sejati, kecuali kalian menafkahkan sebagian dari apa yang kalian sendiri cintai untuk orang lain; dan apa pun yang kalian nafkahkan—sungguh, Allah Maha Mengetahuinya.”

Jelaslah, betapa ukuran kebajikan sosial, betapa iman seseorang tidak dapat dipandang sempurna, kecuali jika iman itu membuatnya sadar akan kebutuhan-kebutuhan material sesama manusia.

Keempat, mashlahah (menguntungkan masyarakat). Dalam hal ini, Pak Kunto tampak ingin menekankan bahwa agama, sebagai moral force, tidak sebatas bersifat individual dan hanya melalui kebudayaan. Agama dapat berpengaruh dalam struktur dan proses berbangsa serta bernegara, termasuk dalam demokratisasi, melalui objektifikasi.

Kuntowijoyo mengetengahkan “kesalahan” umat Islam, yang memandang masalah politik sebagai masalah sederhana, bahwa asal semua berbuat baik, selesai urusan. Padahal, baik menurut siapa? Karena “baik” seorang majikan berbeda dengan “baik” seorang buruh. Pengusaha berbeda dengan masyarakat bawah. Politisi berbeda dengan petani.