Oleh: Adib Achmadi
Orang tua siapa yang tak bangga jika anaknya berhasil ikut finalis kompetisi olimpiade sains? Pun siapa yang tak bangga jika anaknya berhasil lolos seleksi olimpiade dari tingkat kecamatan hingga olimpiade internasional, dan apalagi mendapatkan juara?
Setiap orang tua di negeri ini akan cenderung bangga anaknya juara olimpiade. Jangankan juara, menjadi finalis olimipade sains saja sudah suatu kebanggaan.
Saya ingin berbagi kisah tentang keluarga pendidik. Keluarga ini punya empat anak dan keempat anaknya finalis olimpiade nasional. Dua di antaranya berhasil menyabet dua gelar juara olimpiade sains internasional. Satu penghargaan yang cukup bergengsi dalam jagat pendidikan.
Konon menurut guru sekolah anaknya, sepanjang 11 tahun (kala itu), dari SD hingga SMA, tak ada finalis olimpiade yang tak diikuti putra-putri keluarga ini. Satu prestasi yang tentu sangat membanggakan. Andai saja ada yang menulis tentang kiat keluarga mengantarkan anak sukses menuju olimpiade sains, buku ini saya duga akan laris. Keluarga ini sangat absah menjadi inspirasi.
Saya menyebutnya keluarga ini sebagai keluarga super. Kesuperan itu bukan karena keluarga ini hebat telah mengantarkan seluruh anaknya finalis olimpiade bergensi itu. Kesuperan itu justru terletak oleh sikapnya sebagai orang tua pendidik.
Orang tua di keluarga ini tidak menganggap olimpiade itu sesuatu yang luar biasa atau ‘wah’. Jika disuruh memilih, keluarga ini lebih memilih tak ada kompetisi dalam pendidikan. Tak ada ranking atau pemeringkatan di sekolah. Kompetisi dalam pendidikan itu cenderung merusak. Siswa sekolah itu punya beragam potensi, jika satu ukuran saja yang diunggulkan tentu ini menjadi pembelajaran yang kurang baik.
Maka keluarga ini menganggap olimpiade sebagai kegiatan sekolah biasa saja tempat siswa mengisi waktunya. Jika anaknya tertarik mengikuti silahkan ikut, pun sebaliknya. Tak ada yang istimewa dalam perlombaan itu, sehingga ketika putra-putrinya ikut proses seleksi olimpiade tak ada sesuatu dukungan maupun sambutan khusus layaknya siswa lainya.
Bahkan pernah suatu kali anak bungsunya yang masih SD mendapat juara, pialanya dititipin panitia karena ukurannya terlalu besar untuk dibawa sementara ia harus naik angkot dan nyambung ojek.
Sebagai keluarga pendidik, orang tua dalam keluarga ini tidak memaksa anaknya mau jadi apa dirinya kelak. Pilihan hidup diserah sepenuhnya pada anaknya kepingin jadi apa. Di tengah prestasi yang menjulang, dan ketika anak-anaknya bisa memilih jadi apa di tempat bergengsi, orang tua ini membiarkan anaknya memilih sebagai guru atau dosen disebuah kampus swasta.
Dan konsisten dengan ketaksetujuannya ide kompetisi di sekolah, tak seperti keluarga lain, kumpulan piala prestasi anak anaknya tak dipajang di tempat terbuka di rumahnya sebagai aksesosis yang ‘wah’. Melainkan teronggok di gudang yang konon katanya pada rusak.
Dan kepada orang tua di keluarga itu, jangan tanya soal ‘resep’ bagaimana memenangkan putra-putrinya mengikuti kompetisi olimpiade. Tak ada resep khusus itu. Sebagai orang tua pendidik, yang dilakukan hanya membangun kultur belajar. Orang tua harus memberikan contoh bagaimana suasana rumah adalah iklim belajar. Itu yang dilakukan.
Kebetulan orang tua keluarga ini keduanya aktivis yang biasa dengan kegiatan diskusi dan membaca di rumahnya. Iklim belajar ini yang mungkin sedikit banyak menular ke anak-anaknya.
Saya mengenal keluarga ini karena kedua orang tua dalam keluarga ini adalah kawan aktivis sejak masa kuliah, bahkan sampai sekarang. Nama pasangan itu Awalil Rizky dan Ety Nurhayati. Mereka tinggal di Yogyakarta.
Kami biasa memanggi Mas Awalil dan Mbak Ety. Keduanya adalah senior waktu kami berkecimpung dalam organisasi. Jiwa pendidiknya sudah kami rasakan sejak kami berinteraksi sama mereka berdua.
Hampir semua junior kala itu merasakan bimbingan, atau setidaknya merasakan pencerahan dari mereka berdua. Kami semua mengakui kepintaran dan khazanah ilmu beliau. Tapi jauh dari soal kepintaran, mereka adalah pendidik yang sabar dan telaten dalam menemani kami para junior.
Dihadapan kedua pasangan ini kami mendapatkan perlakuan asih-asah-asuh. Mereka yang datang ke rumahnya, ada semacam rasa aman, baik secara intelektual maupun psikologis. Mereka tak segan berbagi ilmu dan pengalaman apa saja yang kami anggap penting. Mereka berdua adalah guru, mentor sekaligus orang tua bagi kami. Mungkin itu pula diperlakukan kepada putra-putrinya.
Sikap pendidik itu juga diperlihatkan Mas Awalil ketika dia saat ini dikenal sebagai seorang pemikir ekonomi di Indonesia. Banyak tulisan telah ia buat. Bahkan hampir tiap hari dia menulis tentang ekonomi Indonesia, sesuatu yang rasanya kecil dilakukan ekonom lain.
Sungguhpun begitu, dia menganggap dirinya hanya sebagai ekonom pembelajar. Dia terus belajar dan berbagi atas apa yang dia pelajari kepada siapa saja. Buku dan tulisannya dipublikasi secara terbuka, alias gratis, agar bisa dipelajari oleh siapa yang belajar ekonomi. Pernah dia diingatkan kolega mengapa ilmunya disebar begitu saja padahal proses pencariannya tak gampang?
Tapi di situ dia konsisten berdiri sebagai pendidik, ilmu bukan barang jualan. Ilmu harus disebarluaskan kepada mereka yang membutuhkan. []
Adib Achmadi, Praktisi pendidikan, tinggal di Slatri Brebes
Diskusi tentang post ini