Scroll untuk baca artikel
Blog

Kenapa Megawati Heran Ibu-ibu Doyan Pengajian?

Redaksi
×

Kenapa Megawati Heran Ibu-ibu Doyan Pengajian?

Sebarkan artikel ini

SAH-sah saja Profesor Megawati Sukarnoputri resah mencermati fenomena ibu-ibu ‘doyan’ pengajian. Karena sibuk pengajian maka anak tidak terurus dan stunting.

“Maaf ya sekarang kan kayaknya budayanya, beribu maaf, jangan lagi nanti saya di-bully, kenapa toh (ibu-ibu) seneng banget ngikut pengajian ya?” ungkap Megawati seperti dikutip dari Suara.com dalam acara Kick Off Pancasila dalam Tindakan ‘Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting’ yang digelar BKKBN beberapa waktu lalu.

“Maaf beribu maaf, saya sampek mikir gitu, ini pengajian sampek kapan tho yo, anake arep dikapakke (anaknya gimana)?” tambahnya.

Nah, yang jadi masalah adalah kesimpulan yang terlalu dangkal. Tidak jelas, apakah ini hasil riset atau cuma dugaan dan asumsi saja. Megawati terkesan menyederhanakan masalah. Kesimpulan yang tidak mencerminkan hasil kajian seorang profesor.

Karena itu, boleh juga dong misalnya kalau emak-emak berbalik menuding Megawati, “Kok bisa ya Ibu Megawati yang sudah saatnya beristirahat masih saja sibuk ngurus partai politik.”

Pernyataan Megawati itu viral dan menjadi pergunjingan netizen. Bukan malah mengamini pernyataan Megawati justru lebih banyak yang merisaknya.

Sebagai kritik, pernyataan Megawati itu bagus. Cuma kritik pun harus berbasis data atau analisisnya tidak hanya bermodalkan subjektifitas apalagi hanya prasangka.

Kalau tidak bijak, pernyataan Megawati tersebut justru menumbuhkan prasangka Ketua Umum PDIP itu tengah memupuk benih islamofobia.

Ingat, islamofobia itu tidak hanya dari luar Islam tetapi juga banyak dari kelompok sekuler, liberal dan Islam abangan.

Anggapan publik tak bisa disalahkan karena jejak PDIP sebagai partai nasionalis tak bisa dihindari. Walaupun PDIP sangat ‘dekat’ dengan kalangan Islam ketika suami Megawati, Taufiq Kiemas masih hidup dan mendirikan Baitul Muslimin.

Gagal Paham

Memang Megawati tidak menyalahkan pengajian karena dia juga mengaku pernah mengikuti pengajian. Namun dari pernyataannya itu seolah Megawati menyebutkan banyak ibu-ibu yang memilih mengikuti penggajian daripada mengurus rumah tangga. Akibatnya anak terlantar, tidak terurus dan stunting.

Bila maksud Megawati seperti narasi di atas, itu jelas gagal paham. Mudah-mudahan saja tidak seperti itu.

Karena dalam kenyataannya, ibu-ibu itu mengaji tidak setiap hari. Mereka rata-rata cuma sehari dalam sepekan. Bisa hari Jumat atau hari Minggu. Atau pada hari biasa.

Mereka itu mengaji, setelah urusan rumah tangga selesai. Mereka juga pengajian tidak hanya mengejar ilmu, pahala dan silaturahmi tetapi juga melepas penat dan hiburan. Itulah hiburan paling sederhana ibu-ibu bisa bertemu tetangga untuk saling sapa. Untuk curhat tentang masalah ekonomi keluarga dan juga harga-harga yang melambung termasuk soal “Minyak Kita” yang hilang di pasaran dan juga harganya yang tidak sesuai harga eceran tertinggi (HET).

Sepertinya Megawati mendapat masukan yang salah atau pengalaman menyimak yang salah. Karena di Jakarta dan di daerah lainnya banyak majelis taklim maka dianggap yang mengaji itu hanya satu kelompok. Padahal kelompok lain dan waktu mengajinya berbeda. Karena hampir setiap hari ada pengajian di beda masjid atau musala maka dianggapnya ibu-ibu mengaji setiap hari.

Kesimpulan Megawati seolah stunting menjadi urusan dan tanggung jawab ibu-ibu juga keliru. Padahal stunting bukan karena kesalahan ibu-ibu lantaran ikut pengajian justru stunting lebih banyak karena kebijakan Pemerintah yang tidak memihak.

Misalnya stunting juga karena pendidikan dan kesadaran ibu-ibu yang rendah. Rata-rata pendidikan masyarakat Indonesia yang setara kelas satu SMP siapa yang salah. Apakah ibu-ibu pengajian? Tentu bukan.