SAYA termasuk yang kaget ketika Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mewacanakan suntik mati Kereta Api (KA) Argo Parahyangan. Opsi ini diambil demi Kereta Cepat Jakarta – Bandung yang kabarnya akan mulai beroperasi Juni 2023.
Sesadis itukah keputusan Pemerintah? Kenapa saya memakai diksi ‘sadis’? Argo Parahyangan adalah sejarah dan heritage. Di sana ada budaya, ada keindahan alam dan ada warisan kolonial. Semuanya akan dihapus dari keseharian dan ingatan publik demi sebuah nama yang sangat absurd. Kereta cepat!
KA Parahyangan awalnya adalah Kereta Parahyangan mulai beroperasi pada 1971. Kemudian berubah menjadi Kereta Argo Gede sampai tahun 2010 dan selanjutnya menjadi KA Parahyangan yang melayani ekonomi premium dan eksekutif.
Alasan Pemerintah mewacanakan menghapus KA Parahyangan sudah dapat dibaca sejak awal karena kekhawatiran yang sangat akut. Kereta cepat bakal sepi peminat. Bukan hanya karena tiketnya yang mahal kendati disubsidi, tetapi tidak semua orang membutuhkan kecepatan.
Apakah semua orang yang naik KA Parahyangan mengejar kecepatan? Saya kira tidak semuanya. Saya malah meyakini mereka naik kereta lebih banyak untuk menikmati kenyamanan dan keindahan alam Pasundan.
Kalau mengejar kecepatan penumpang bisa menggunakan moda lain. Bisa menggunakan mobil pribadi atau travel.
Jauh sebelumnya mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu sudah mengatakan Kereta Cepat Jakarta – Bandung tidak layak secara bisnis. Karena itu dipastikan merugi. Ini dibuktikan belakangan dengan pernyataan Pemerintah yang menargetkan perusahaan baru balik modal 30 tahun.
Said Didu bahkan sudah memprediksi Pemerintah akan menghentikan operasional KA Parahyangan agar penumpangnya beralih ke kereta cepat. Namun, Said Didu juga mengatakan penghentian operasional kereta tak akan menyelematkan kereta cepat.
Ada beberapa alasan di antaranya stasiun awal dan akhir baik di Jakarta dan Bandung jauh dari pusat kota. Termasuk minimnya akses angkutan umum. Dampaknya akan menyebabkan harga tiket yang sudah mahal ditambah biaya lanjutan yang juga mahal.
Akses ke Stasiun Halim Perdanakusuma selain minim angkutan umum misalnya, juga dikenal sebagai biang macet. Pengalaman menyiksa sangat dirasakan selama ini oleh pengguna pesawat yang berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma.
Tidak seperti Stasiun Gambir di Jakarta yang sangat strategis juga Stasiun Kiara Condong di pusat Kota Bandung. Biaya transportasi jadi sangat hemat.
Secara estimasi waktu, kereta cepat dapat ditempuh 45 menit. Sedangkan KA Parahyangan sekira 3 jam. Dari perbandingan di atas kertas kereta cepat memang sangat cepat tetapi nanti dulu.
Kereta cepat dalam kenyataannya bisa menjadi kereta paling lambat di bandingkan KA Parahyangan, bus antarkota dan travel. Atau mungkin paling banyak membuang waktu.
Keberangkatan menuju Halim Perdanakusuma terjebak macet diperkirakan saja sekitar satu jam. Kemudian menunggu kereta sekira 30 menit. Sesampai di Stasiun Padalarang menunggu angkutan 30 menit dan macet menuju kota sekitar 1 jam. Total 3 jam juga. Ini sudah paling minimal.
Karena itu saya ulangi lagi, kecepatan itu absurd dan bisa menyesatkan.
Saya mengusulkan KA Parahyangan jangan dicabut operasionalnya. Justru ini nanti menjadi pelecut bagi manajemen kereta cepat untuk bersaing, efisien dan memberikan pelayanan yang paripurna bagi penumpang.
Ingat, orang naik KA Parahyangan tidak sekadar tujuan kerja, pribadi, atau wisata tetapi ada keterpanggilan dari mereka untuk mempertahankan warisan kolonial.