BELAKANGAN ini perbincangan ibu-ibu rumah tangga sedikit naik kelas. Bila sebelumnya yang dibincangkan bersama tetangga atau bersama suaminya soal drakor, sekolah anak-anak atau tetangga yang rese, namun belakangan ini kosa katanya bertambah: rese(si)!
Istilah resesi menjadi perbincangan mereka sehari-hari karena begitu gencarnya pemberitaan baik domestik atau mancanegara yang sampai ke genggaman mereka lewat smartphone-nya. Mereka tak peduli definisi resesi tetapi kesimpulannya istilah itu mereka sederhanakan sebagai zaman malaise atau kondisi kehidupan yang serba susah atau serba sulit (tempe semakin tipis, bakwan jadi seukuran bola pingpong dan tahu bandung seperti dadu).
Secara psikologi, istilah resesi sudah berdampak kepada ibu-ibu dan juga mungkin kelas pekerja Indonesia. Di sisi lain pendapatan mereka bukan malah meningkat tapi justru berkurang karena sejak Covid-19 menyerang aktivitas ekonomi domestik belum normal diperparah dengan gejolak dunia akibat perang Rusia-Ukraina yang belum jelas kapan berakhir.
Parahnya, para elite kita seperti presiden, menteri dan juga tokoh politik bukan malah menenangkan masyarakat yang resah tetapi justru memprovokasi rakyatnya. Padahal para pejabat dan tokoh publik ini seharusnya bisa menghibur masyarakatnya yang resah dan khawatir dengan nasibnya.
Kosakata Presiden Jokowi tentang ‘awan gelap’ ekonomi pernyataan Menko Investasi dan Maritim Luhut Binsar Pandjaitan tentang ‘badai ekonomi’ dan pernyataan Menkeu Sri Mulyani mengenai ekonomi dunia “gelap dan pekat”, alih-alih membuat rakyat waspada justru membuat mereka khawatir. Entah apa yang menyebabkan anasir pejabat kita ini doyan dengan kata-jata hiperbola seperti itu!
Lantaran itu sangat beralasan bila mantan Wapres Jusuf Kalla sampai menelepon Sri Mulyani agar tidak terus-terusan memprovokasi rakyatnya dengan pernyataan berlebihan yang menyebabkan masyarakat takut. Kenapa pejabat harus berbagi ketakutan dengan rakyat yang selama ini sudah hidup susah akibat harga-harga melambung tinggi dampak kenaikan BBM?
Bukankah soal ekonomi itu adalah tanggung jawab pemerintah untuk membuat kebijakan yang prorakyat? Kalau ada masalah ekonomi global memang rakyat bisa apa? Menghemat? Mau menghemat bagaimana hidup sudah repot? Logika ini yang tidak dipakai pemerintah.
Kalau pemerintah lagi susah, kesulitan atau tak becus membuat kebijakan jangan berbagi kesusahan dengan rakyat. Kalau memang tak mampu membuat rakyat makmur dan tidak bisa mewujudkan amanat konstitusi dan janji-janji kenapa tidak mundur? Kenapa tidak mencontoh Inggris? Menteri salah mengirim email soal urusan negara yang harusnya pakai surel resmi tetapi lupa ternyata pakai pos-el pribadi, juga mengundurkan diri. Padahal bagi Indonesia itu soal sepele.
Jadi tolonglah berhenti memprovokasi rakyat dengan kosa kata, frasa dan peribahasa hiperbola. Pakailah kata-kata yang meneduhkan, menenangkan dan empatik sehingga masyarakat yang semakin gelisah dan berduka karena teror kematian di Stadion Kanjuruhan dan ratusan bayi mati gagal ginjal akibat skandal paracetamol cair. Padahal ibu-ibu berharap anaknya sehat dan pulih, justru obat menjemput ajalnya. Masih tegakah pejabat untuk terus menakut-nakuti rakyat?
Nir Empati
Ketika ekonomi domestik dan global tengah bermasalah, sungguh tidak elok ketika elite negeri ini masih berbicara tentang pembangunan mercusuar sepeti Ibu Kota Negara (IKN) dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung? Sungguh nir empatik. Karena rakyat menganggapnya negara memiliki duit banyak kenapa tidak dialihkan untuk menolong rakyat yang lagi susah. Kalau punya duit banyak kenapa ada istilah awan gelap, badai ekonomi atau ekonomi gelap dan pekat. Itulah anggapan sederhana masyarakat.