Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Kesepian Lemahkan Imun, Jangan Biarkan Orang Tersayang Hadapi Covid-19 Sendirian

Redaksi
×

Kesepian Lemahkan Imun, Jangan Biarkan Orang Tersayang Hadapi Covid-19 Sendirian

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Tadi pagi, BBC Indonesia melaporkan jika ratusan korban Covid-19 yang meninggal dalam kondisi sepi saat isolasi mandiri di rumah.

“Yang melaporkan biasanya tetangganya, ‘Kok orang ini nggak keluar – keluar, lagi isoman’. Begitu dilihat sudah nggak ada (meninggal), lapor ke kami. Kami tiba di sana, (jenazah) sudah kaku. Rata-rata seperti itu sekarang kondisinya,” Kata Wirawan, anggota Tim Pemulasaran Jenazah Covid-19 di DKI Jakarta. Begitu tulis BBC Indonesia melalui laman Instagramnya, Sabtu (10/7/2021).

Membaca laporan itu, saya jadi teringat saat ramadan kemarin. Saya dapat kabar bapak sakit. Awalnya ia mengeluhkan sakit tenggorokan, batuk, pilek, demam,  mual dan lemas. Maka, ia segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang tepat.

Kakak memerintahkan saya untuk segera pulang. “Bapak sakitnya parah,” katanya via telepon. Saya pun tak berpikir panjang lagi, segera mengepak barang dan pulang.

Di perjalanan menuju rumah, saya mendapat kabar lagi, kalau bapak terkonfirmasi positif Covid-19. Ia harus dipindahkan ke ruang isolasi karena peralatannya lebih lengkap dan memadai, ada ventilator, monitor, dan defibrilator.

Mendengar kabar itu, keluarga kami panik. Jangankan masuk rumah sakit, menginap di rumah saudara atau hotel saja bapak tidak betah. Apalagi ini ruang isolasi, keluarga tidak diperbolehkan menjenguk. Bukannya membaik, bisa-bisa kondisi kesehatan bapak malah memburuk.

Kami berembuk. Ibu melobi pihak rumah sakit agar bapak bisa ditemani keluarga. Rumah sakit membolehkan, dengan syarat hanya satu anggota keluarga saja, tidak boleh ganti-ganti. Adik kami jadikan “tumbal”, dengan pertimbangan ia masih muda, kuat, sehat, dan pekerjaannya yang fleksibel.

Minggu sore (2/5/2021) bapak dipindahkan ke ruang isolasi. Perawat dengan baju “astronotnya” mendorong bapak ke ruang isolasi dekat dengan ruang jenazah. Saya melambaikan tangan ke bapak namun wajahnya menunduk, tampak begitu sedih. Persis seperti tahanan yang mau dihukum mati.

Untuk beberapa menit, saya bisa bertemu bapak di balik jeruji besi. Dari jauh. Saya melemparkan senyum dan memberi semangat, “Bapak enggak perlu khawatir ya, bapak pasti sembuh.”

Setiap hari, adik saya melaporkan perkembangan bapak di grup WhatsApp keluarga. Kondisi bapak terus menurun. Ia tak bisa makan sama sekali. Meski itu sesendok. Bapak hanya tergantung dengan obat-obatan. Beruntungnya, bapak masih bisa minum. Adik beri minum hangat setiap hari, itu minuman kesukaan bapak sejak dulu.

Adik membuat inisiatif. Setiap hari anggota keluarga wajib melakukan panggilan video. Ia yakin cara ini akan berhasil membuat bapak bersemangat. Kami sepakat.

Hari ketujuh, tepat pukul 00.00 WIB, adik menelpon dengan nada takut. Katanya, bapak menggigil, kakinya dingin, ia sesak dan meracau. Setengah anggota keluarga inti menuju ke rumah sakit. Setengahnya lagi tetap di rumah, mereka salat tahajud untuk memohon kesembuhan bapak.

Di rumah sakit, perawat memberi tahu, bapak memang sempat kritis, demam, dan diberi oksigen. Namun, kondisinya sudah stabil. Kami sangat lega, tapi tetap waspada dengan segala kemungkinan buruk.

Bapak sudah tua, usianya 64 tahun dan punya komorbid. Terinfeksi Covid-19 tentu tak mudah baginya. Orang muda saja mengeluh kesakitan, apalagi bapak.

Tapi, syukurnya di hari kesepuluh bapak dinyatakan negatif. Hasil rontgen di awal menunjukkan paru-paru bapak pneumonia. Di hari kesepuluh hasilnya bersih. Organ lainnya sehat, darahnya juga normal. Mukjizatnya, adik saya pun negatif.

Begitulah manusia, sejatinya adalah makhluk sosial. Hubungan kita dengan orang lain memungkinkan kita bertahan dan berkembang. Dalam situasi pandemi, mengisolasi seseorang dalam kondisi sakit tentu bukanlah solusi yang tepat, meski itu bisa menjauhkan kita atau orang lain dari infeksi.