Bank Dunia juga menyajikan distribusi pendapatan berupa porsi masing-masing desil (tiap 10%) kelompok penduduk atau berdasar kuintil (tiap 20%). Dari data semacam itu, analis dapat membandingan antara 10% yang teratas dengan 40% yang terbawah. Bisa pula antara desil teratas dengan yang terbawah.
Dalam kasus Indonesia Bank Dunia melakukan estimasi distribusi pendapatan penduduk terutama berdasar data Susenas BPS, yang aslinya merupakan data pengeluaran. Data terkini Bank Dunia tentang Indonesia menunjukkan bahwa 10% kelompok teratas memperoleh 29,9% dari total pendapatan penduduk pada tahun 2019. Meningkat dari porsinya pada tahun 2000 yang hanya 25%.
Sementara itu porsi dengan 10% terbawah cenderung turun. Dari 4,2% pada tahun 2000 menjadi hanya 2,9% pada tahun 2019.
Rasio antar keduanya meningkat dari 5,81 menjadi 10,10. Diprakirakan meningkat lagi pada 2020, beriringan dengan meningkatnya gini rasio berdasar pengeluaran yang telah dipublikasi oleh BPS.
Lembaga Keuangan ternama seperti Credit Suisse bahkan menghitung gini rasio berbagai negara dengan memakai data kekayaan penduduk dewasa. Sebagian besar data merupakan prakiraan dari lembaga tersebut, termasuk data Indonesia.
Data terkini masih kondisi pertengahan tahun 2019. Rasio gini Indonesia berdasar data kekayaan disebut mencapai 83,3%. Indonesia termasuk beberapa negara yang sangat timpang dalam ukuran ini. Perhatikan pula, besarannya jauh lebih tinggi dibanding rasio gini BPS berdasar data pengeluaran yang pada saat itu sebesar 38,1%.
Pandemi berdampak pada aktfitas riset lembaga itu, yang biasanya mengeluarkan data tiap tahun untuk banyak negara. Pada tahun 2020 hanya data beberapa negara yang dirinci, dan Indonesia tidak tercakup.
Laporannya yang berjudul “Global wealth databook 2019” disebut rata-rata kekayaan tiap penduduk dewasa Indonesia mencapai US$10.545. Termasuk dalam hal ini kekayaan finansial seperti simpanan di lembaga keuangan dan kepemilikan atas saham dan obligasi. Jumlah penduduk dewasa disebut sebanyak 172,91 juta orang.