Oleh: Awalil Rizky
Pandemi telah memperburuk kondisi kemiskinan di Indonesia. Dampaknya lebih besar dari yang sekadar terlihat pada tingkat kemiskinan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS). Data BPS bersifat rerata dan agregat, dan hanya mengelompokkan penduduk menjadi miskin dan tidak miskin. Tidak dipublikasi jumlah yang hampir miskin dan rentan miskin, yang kondisi hidup sehari-harinya serupa yang miskin.
Sebelum pandemi, BPS biasa memublikasi data jumlah penduduk berdasar status kemiskinannya yang mencakup: sangat miskin, miskin, hampir miskin, dan rentan miskin. Entah karena alasan teknis kurang sampel terkendala survei terdampak pandemi, atau ada alasan lain yang tak dikemukakan.
Kondisi Maret 2019 merupakan data termutakhir yang disajikan BPS dalam hal tersebut. Jumlah penduduk miskin saat itu sebanyak 25,14 juta orang atau 9,41% dari total penduduk. Namun, dalam data status miskin yang lebih luas tadi, jumlahnya mencapai 91,90 juta orang atau 34,49%. Lebih dari sepertiga penduduk sebenarnya masih terbilang miskin.
Aspek yang nyaris selalu beriringan dengan kemiskinan adalah ketimpangan ekonomi. Ketimpangan diartikan sebagai konsep yang menggambarkan ketidaksetaraan baik dalam hal status, maupun kesempatan. Ketimpangan kadang dianggap sebagai bagian dari konsep kemiskinan relatif.
Ada banyak indikator yang biasa dipakai mengukur ketimpangan. Otoritas ekonomi Indonesia lebih suka memakai rasio gini dalam narasi kebijakannya. Bahkan, kini dinyatakan sebagai target capaian dalam Nota Keuangan dan APBN tiap tahunnya.
Rasio gini dimaksud dipublikasi oleh BPS, yang menghitungnya berdasar data pengeluaran atau konsumsi penduduk. Data terutama bersumber Survei ekonomi nasional (Susenas) yang rutin dilaksanakan pada bulan Maret dan September tiap tahunnya.
Sebagaimana tingkat kemiskinan, rasio gini pada September 2020 meningkat menjadi 0,385. Dari sebesar 0,380 pada Maret 2020 dan 0,381 pada September 2020. Beberapa tahun sebelumnya cenderung turun perlahan.
Sebenarnya rasio gini dapat dihitung berdasar berbagai jenis data seperti pengeluaran, pendapatan, dan kekayaan. Sebagai contoh, Bank Dunia memublikasi rasio gini berbagai negara berdasar data pendapatan atau prakiraan data pendapatan.
Bank Dunia juga menyajikan distribusi pendapatan berupa porsi masing-masing desil (tiap 10%) kelompok penduduk atau berdasar kuintil (tiap 20%). Dari data semacam itu, analis dapat membandingan antara 10% yang teratas dengan 40% yang terbawah. Bisa pula antara desil teratas dengan yang terbawah.
Dalam kasus Indonesia Bank Dunia melakukan estimasi distribusi pendapatan penduduk terutama berdasar data Susenas BPS, yang aslinya merupakan data pengeluaran. Data terkini Bank Dunia tentang Indonesia menunjukkan bahwa 10% kelompok teratas memperoleh 29,9% dari total pendapatan penduduk pada tahun 2019. Meningkat dari porsinya pada tahun 2000 yang hanya 25%.
Sementara itu porsi dengan 10% terbawah cenderung turun. Dari 4,2% pada tahun 2000 menjadi hanya 2,9% pada tahun 2019.
Rasio antar keduanya meningkat dari 5,81 menjadi 10,10. Diprakirakan meningkat lagi pada 2020, beriringan dengan meningkatnya gini rasio berdasar pengeluaran yang telah dipublikasi oleh BPS.
Lembaga Keuangan ternama seperti Credit Suisse bahkan menghitung gini rasio berbagai negara dengan memakai data kekayaan penduduk dewasa. Sebagian besar data merupakan prakiraan dari lembaga tersebut, termasuk data Indonesia.
Data terkini masih kondisi pertengahan tahun 2019. Rasio gini Indonesia berdasar data kekayaan disebut mencapai 83,3%. Indonesia termasuk beberapa negara yang sangat timpang dalam ukuran ini. Perhatikan pula, besarannya jauh lebih tinggi dibanding rasio gini BPS berdasar data pengeluaran yang pada saat itu sebesar 38,1%.