LPS antara lain merinci data DPK berdasar level (tiering) nominalnya menjadi 7 kelompok. Kelompok dengan nilai nominal rekening yang lebih dari 5 miliar rupiah mencapai Rp3.359,2 triliun. Hampir separuh (49,5%) dari total DPK.
Meski disebut kelompok tiering lebih dari 5 miliar rupiah, rata-rata nilainya mencapai Rp30,55 miliar per rekening. Jumlah seluruh rekeningnya sebanyak 109,95 ribu. Kemungkinan, satu orang (pihak) memiliki beberapa rekening. Kuat dugaan rata-rata 10 rekening, sehingga hanya ada 11 ribu pihak.
Nilai nominal DPK kelompok ini mengalami kenaikan sebesar 7,34% dari Desember 2020 atau selama kurun waktu tiga bulan. Pada saat bersamaan, semua tiering nominal lainnya menurun. Bahkan, kelompok DPK bernominal terendah, yaitu kurang dari sampai dengan 100 juta rupiah alami penurunan 4,55%.
Meski disebut kelompok ≤ 100 Jt, rata-rata nilainya hanya Rp2,61 juta per rekening. Jumlah seluruh rekeningnya sebanyak 349,41 juta.
DPK memang dimiliki oleh banyak pihak, seperti individu, perusahaan, lembaga, dan Pemerintah. Ternyata porsi terbesar justeru berupa rekening perseorangan (individu) yang mencapai sekitar 54,63% dari seluruh DPK di bank umum dan BPR. Rekening pemerintah dan lembaga non bisnis berporsi relatif kecil, dari sisi jumlah maupun nominalnya.
Dengan demikian analisis data distribusi DPK dalam hubungannya dengan ketimpangan, perlu diingat satu hal. Yaitu, kepemilikan perusahaan swasta dapat dipastikan beririsan dengan kelompok perorangan dengan tier simpanan bernilai besar. Badan usaha swasta tentu saja lebih banyak dimiliki oleh kelompok itu juga.
Uraian di atas hanya lah indikator bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia jelas telah meningkat. Narasi otoritas tentang menurunnya dengan berulang kali mengutip rasio gini BPS justeru dapat menyamarkan dinamika yang sebenarnya tengah berlangsung.
Ketimpangan ekonomi ini juga lebih nyata dalam kehidupan sehar-hari. Perbedaan yang kasat mata antara lain dalam hal sandang, pangan, perumahan, dan moda transportasi. Ruang hidup terutama ruang publik bagi yang kaya dan miskin pun makin banyak yang terpisah. Sedikit sekali kesempatan antar mereka untuk berinteraksi secara langsung.
Pada dasarnya, masyarakat Indonesia merupakan komunitas yang terbiasa menghargai perbedaan. Toleransi atas kelompok dengan kekayaan besar secara umum masih terjadi. Sejak dahulu, tidak banyak peristiwa “revolusi sosial” yang bertemakan perbedaan pendapatan atau kekayaan.
Bagaimanapun, penulis berpendapat toleransi itu memiliki batas. Apalagi jika kesulitan ekonomi kemudian dialami oleh makin banyak orang, sementara mereka melihat sekelompok orang hidup berkelimpahan. Batas itu tidak boleh dilewati dalam kehidupan berbangsa bernegara Indonesia.