Scroll untuk baca artikel
Terkini

Ketua CISFED: Sebetulnya Pemerintah Punya Banyak Perangkat untuk ‘Menghukum’ Israel

Redaksi
×

Ketua CISFED: Sebetulnya Pemerintah Punya Banyak Perangkat untuk ‘Menghukum’ Israel

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO Dalam pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) tanggal 16 Mei lalu, Menteri Luar Negeri Turki menyatakan tak cukup hanya deklarasi untuk dukung Palestina. Lebih dari itu, dibutuhkan perlindungan fisik dengan membentuk semacam aliansi internasional yang berkontribusi secara militer dan keuangan terhadap Palestina.

Menurut Ketua Center For Islamic Studies In Economics and Development (CISFED) Farouk Abdullah Alwyni, Indonesia perlu merespons ajakan Turki tersebut secara serius. Sebab jika Indonesia dan Turki mulai merealisasikan gagasan itu, menurutnya, kemungkinan besar negara-negara OKI lain juga akan terlibat dan berkontribusi.

“Ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk memainkan peran penting dalam mendukung tegaknya keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian di Palestina sesuai dengan amanat konstitusi,” Kata Farouk Alwyni saat Barisanco meminta keterangan, Selasa (18/5/2021).

Farouk Alwyni mengatakan, saat ini juga adalah momentum bagi pemerintah Indonesia untuk menegaskan keberpihakannya terkait nasib Palestina. Banyak instrumen bisa dipakai untuk mencapai objektivitas geopolitik itu, mulai dari instrumen hukum sampai ekonomi.

“Pemerintah bisa melarang seluruh entitas hukum di Indonesia berhubungan dengan entitas hukum Israel. Bisa menaikan tarif impor terhadap produk Israel, seperti yang dilakukan Amerika terhadap China yang kita kenal istilah trade war. Atau lebih drastis menyetop impor dari Israel. Instrumen lain adalah melarang warga negara Israel masuk ke Indonesia, melarang adanya kepentingan bisnis Israel di Indonesia.”

“… Pada prinsipnya, banyak instrumen yang bisa kita gunakan untuk memberi ‘hukuman’ kepada Israel,” kata Farouk Alwyni.

Dalam kerangka mencapai objektif politik, Farouk mengatakan, tidak salah pula bila pemerintah mulai menjajaki kebijakan boikot, divestasi, dan sanksi (BDS) seperti yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap Israel.

“Uni Eropa punya kebijakan labelling terhadap barang-barang hasil produksi dari daerah Israeli settlement, agar pihak-pihak yang tidak setuju terhadap kebijakan settlement dari Israel dapat menghindari produk-produk tersebut,” kata Farouk Alwyni.

Salah satu negara yang terdepan dalam konteks boikot Israel, yang menurut Farouk penting disimak, adalah Irlandia.

Irlandia secara resmi melarang kongsi perdagangan dengan kawasan yang berstatus di bawah kekuasaan Israel. Meski ada sekitar 500 ribu hingga 1 juta poundsterling per tahun yang hilang dari kebijakan tersebut, Irlandia tak ambil pusing.

Bahkan Irlandia memberi sanksi kepada setiap orang yang mengimpor atau membantu impor atau menjual semua jenis komoditas produksi wilayah permukiman Yahudi di tanah Palestina tahun 1967. Tak berhenti di situ, pemerintah Irlandia juga akan memberi sanksi kepada semua orang yang terlibat langsung atau membantu mengeksploitasi kekayaan wilayah Palestina dan teritorial lautnya.

Berkaca dari Irlandia, Farouk menilai Indonesia bisa melakukan hal yang sama. Dalam hal ini, pemerintah perlu menegaskan pencapaian obyektif yang lebih besar, seperti berpegang kepada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, dibanding misalnya pencapaian ekonomi.

“Kalau negara-negara Barat bisa melakukan itu mengapa Indonesia tidak bisa? Sebagai negara yang berpegang terhadap amanah konstitusi, persoalan untung-rugi ekonomi adalah nomor dua. Di sini bagaimana kita bisa konsisten terhadap konstitusi kita yang menolak segala macam bentuk penjajahan dan penindasan antara satu bangsa kepada bangsa yang lain,” ungkap Farouk Alwyni. []