Oleh: Zaenal Abidin Riam*
Barisan.co – Sejak Indonesia Merdeka, demokrasi menjadi pilihan yang diterapkan dalam sistem berbangsa dan bernegara. Dalam perjalanannya penerapan demokrasi mengalami pasang surut.
Terlepas dari pasang surut tersebut, masyarakat dan pemerintah perlu memastikan demokrasi tidak berjalan mundur, kualitas demokrasi mesti terus mengalami perbaikan, akan tetapi fakta yang yang terjadi belakangan ini justru bertentangan dengan harapan tersebut, sebaliknya demokrasi justru mengalami penurunan drastis.
Berdasarkan riset terbaru dari Indikator Politik Indonesia, 36 persen masyarakat menilai Indonesia menjadi semakin tidak demokratis, sebaliknya, hanya 17,7 persen masyarakat yang menilai Indonesia lebih demokratis.
Penelitian ini juga mengungkap munculnya kekhawatiran menyatakan pendapat di depan umum, ancaman dan intimidasi fisik maupun psikis menjadi alasan utamanya. Sebanyak 69,9 persen masyarakat menyatakan semakin takut menyatakan pendapat. Di samping itu ada 73,8 persen masyarakat yang menyatakan warga makin sulit melakukan protes atau demonstrasi.
Banyaknya masyarakat yang menilai kualitas demokrasi mengalami penurunan serius, serta besarnya jumlah masyarakat yang semakin takut menyatakan pendapat, merupakan peringatan serius bagi demokrasi yang yang susah payah kita perjuangkan.
Sebagai pemegang daulat tertinggi, masyarakat mesti dipastikan bebas menyatakan pendapatnya. Jika masyarakat telah merasa takut berpendapat maka sesungguhnya demokrasi juga sedang berada dalam ancaman.
Ancaman terhadap kebebasan berpendapat dipertontongkan oleh pemerintah melalui aparat kepolisian, sepanjang demonstrasi besar-besaran menolak UU Ciptaker, per 10 Oktober 2020 terdapat 5.918 orang di seluruh Indonesia ditangkap hanya karena berdemonstrasi menolak UU Ciptaker.
Dari jumlah tersebut, 240 orang diantaranya diproses secara pidana. Pihak kepolisian menghabiskan uang miliaran rupiah demi menghadapi aksi demonstrasi. Berdasarkan catatan ICW total 408,8 miliar uang dihabiskan kepolisian untuk pengadaan barang periode September 2020, semuanya terkait dengan upaya mengantisipasi demonstrasi.
Pemerintah semestinya harus lebih memahami bahwa penegakan demokrasi membutuhkan partisipasi rakyat, bahkan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, keran dialog seharusnya dibuka secara lebih lebar. Bukan sebaliknya, mengintimidasi rakyat dengan ragam cara, namun sayang kesadaran tersebut belum terlihat, pemerintah selalu saja membela diri bahwa langkah tesebut bagian dari upaya menjaga keamanan, keamanan seperti apa yang dimaksud? Tidak jelas.
Sering kali istilah keamanan dalam kamus pemerintah justru digunakan untuk merepresi masyarakat yang menyuarakan kritik. Cara seperti ini adalah bagian dari alur kerja logika kekuasaan, padahal pengelolaan Negara jauh lebih membutuhkan logika permusyawaratan, di mana didalamnya kritik konstruktif dari rakyat dinilai sebagai berkah, olehnya harus didengar, bukan dibungkam.
Zaenal Abidin Riam, Pengamat Kebijakan Publik/Koordinator Presidium Demokrasiana Institute