Scroll untuk baca artikel
Opini

Langkah Bahaya Dua Jenderal Ini Potensi Matikan Demokrasi

Redaksi
×

Langkah Bahaya Dua Jenderal Ini Potensi Matikan Demokrasi

Sebarkan artikel ini

MANTAN Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko dan mantan Komandan Pendidikan dan Latihan TNI Jenderal (HOR) Luhut Binsar Pandjaitan melaporkan aktivis civil society ke Bareskrim Polri. Menariknya, keduanya adalah anggota Kabinet Presiden Joko Widodo yang tengah berkuasa.

Murni dugaan pencemaran nama baik atau ada grand design untuk mematikan kritik yang menjadi roh demokrasi?

Seperti diketahui Moeldoko yang kini menjabat Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Jumat (10/9/2021) lalu melaporkan dua peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha dan Miftachul Choir ke Bareskrim Polri atas dugaan pencemaran nama baik.

Moeldoko menuding tidak ada ada iktikad baik dari kedua terlapor untuk mencabut pernyataan terkait tuduhan terhadap dirinya soal pemburuan rente dalam peredaran Ivermectin dan ekspor beras antara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan PT Noorpay Nusantara Perkasa.

Sebelumnya, Egi Primayoga menyebut ada dugaan PT Harsen Laboratories memiliki hubungan dengan Moeldoko. Dugaan itu muncul setelah Moeldoko “mempromosikan” Ivermectin untuk Covid-19.

Sementara Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan melaporkan aktivis HAM Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti ke polisi, Rabu (22/9/2021). Bukan hanya pidana, Luhut juga melaporkan secara perdata.

Menurut Luhut, laporannya sebagai “pembelajaran kepada publik supaya mereka yang merasa publik figur itu menahan diri untuk memberikan statement tidak bertanggung jawab”. Luhut mengklaim laporannya bersifat pribadi, bukan dalam kapasitas sebagai pejabat.

Kasus ini berawal dari diskusi yang dilakukan Haris dan Fatia mengenai dugaan keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang di Papua berdasar laporan “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya” yang dilakukan YLBHI, Walhi Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, Walhi Papua, LBH Papua, Kontras, JATAM, Greenpeace Indonesia, hingga Trend Asia.

Hasil diskusi keduanya kemudian diunggah ke kanal Youtube Haris Azhar dengan judul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam”.

Kita menghargai langkah Luhut, juga Moeldoko, untuk menempuh jalur hukum sebagai bagian dari asas kesetaraan di depan hukum.

Tetapi hal itu tidak cukup untuk menggugurkan lima hal lainnya dalam perspektif demokrasi dan civil society.

Pertama, sebagai pejabat publik -terlebih pembantu presiden- Luhut dan Moeldoko memiliki kewajiban untuk ikut memelihara kehidupan demokrasi di mana di antaranya adalah memberi ruang terhadap kritik.

Kedua, sekali pun laporan dibuat secara pribadi, namun ingat, jabatan publik bersifat melekat, tidak hanya saat jam kerja atau mengenakan seragam. Bahkan Luhut sering mengatakan dirinya tetap militer sekali pun telah lama pensiun.

Dalam konteks laporan ke polisi, mustahil melepas posisinya karena yang menjadi temuan para aktivis juga terkait dengan kedudukannya sebagai pejabat. Dalam kasus Ivermectin, ICW menduga pelibatan Moeldoko sebagai KSP, bukan sebagai pribadi.

Demikian juga dalam laporan dugaan keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang di Papua. Jika hal itu terkait urusan pribadi, tentu tidak akan menjadi temuan. Tetapi karena posisinya yang sangat strategis dan merangkap berbagai jabatan di bawah Presiden, maka adanya dugaan keterlibatannya dalam bisnis tambang menjadi temuan menarik.

Ketiga, jika merasa temuan yang dimaksudkan sebagai kritik oleh sejumlah LSM dianggap tidak berdasar, tidak benar, maka mestinya sebagai pejabat negara baik Luhut dan Moeldoko cukup melakukan klarifikasi menggunakan saluran demokrasi yang tersedia seperti media massa. Biarkan nanti masyarakat yang menilai, bukan penegak hukum!