Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Lapangan Tafakur

Redaksi
×

Lapangan Tafakur

Sebarkan artikel ini

Ketujuh, merasakan manisnya taat dan mendapat rasa lezat dalam bermunajat, karena jiwanya tenang. Kedelapan, ketenangan hati dan badan, karena dalam bergaul dengan banyak orang terdapat hal-hal yang dapat menyebabkan hati menjadi letih karena mementingkan urusan mereka. Badan juga letih karena menuruti tujuan dan maksud mereka, walau hal itu mengandung pahala. Dan, kesembilan, menjaga diri dan agamanya dari pertentangan dan permusuhan karena pergaulan.

Begitulah manfaat uzlah. Namun, ada yang berpendapat, uzlah sudah tak relevan lagi dan bahkan bertentangan dengan sunah Nabi Saw. Dalam anggapan sebagian orang itu, Nabi Saw. telah meninggalkan kebiasaan uzlah semenjak turun wahyu di Gua Hira. Benarkah demikian? Kalau benar, berarti untaian Syekh Ibnu ‘Athaillah ini pun salah.

Mari kita renungi lagi ucapan Sykeh Ibnu ‘Athaillah, “Tiada yang lebih berguna bagi hati selain uzlah. Dengan uzlah, hati memasuki lapangan tafakur, memasuki medan pemikiran.” Yang sekali lagi, kita dapati sebuah untaian hikmah bahwa dengan uzlah niscaya kita mendapat keteguhan hati yang disebabkan oleh tafakur dan kesempatan lebih untuk mengambil pelajaran. Bukankah “berpikir sesaat lebih baik daripada beribadah selama tujuh puluh tahun?”

Terlebih kalau kita selami riwayat, bukankah Rasulullah Saw. juga tetap mengondisikan diri untuk berjarak dengan makhluk? Beliau menyendiri bersama Allah. Ketika malam semakin larut, saat masuk setengah yang kedua dari malam, beliau bangun dari tempat tidur, dan kemudian salat malam. Beliau membaca Al-Quran.

Hai orang yang berselimut (Muhammad). Lakukan salat pada malam hari kecuali sebagian kecil darinya. Separuh atau kurang sedikit dari separuh. Atau lebih banyak dari semua itu. Dan bacalah Al-Quran dengan tartil terang penuh perhatian.” (Al-Muzzammil: 1-4).

Syahdan, tidak ada alasan lagi untuk tidak beruzlah. Sedianya kita bisa mengalokasikan waktu dan suasana untuk merenung, untuk bertafakur. Sehari semalam, misalnya, kita menyibukkan pikiran dengan membaca buku yang menggugah bukan yang merusak pikiran.

Sehari semalam beruzlah dari manusia, seraya mendekatkan diri kepada pengetahuan akan diri sendiri, akan identitas sebagai hamba. Mendekatkan diri untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat ketuhanan. Jadi “lapangan tafakur” bisa berupa membaca Al-Quran, membaca sejarah Nabi Saw., mengontinukan membaca selawat, dan membaca kitab-kitab hikmah, dan lain sebagainya.