Terlebih kalau kita selami riwayat, bukankah Rasulullah Saw. juga tetap mengondisikan diri untuk berjarak dengan makhluk? Beliau menyendiri bersama Allah. Ketika malam semakin larut, saat masuk setengah yang kedua dari malam, beliau bangun dari tempat tidur, dan kemudian salat malam. Beliau membaca Al-Quran.
“Hai orang yang berselimut (Muhammad). Lakukan salat pada malam hari kecuali sebagian kecil darinya. Separuh atau kurang sedikit dari separuh. Atau lebih banyak dari semua itu. Dan bacalah Al-Quran dengan tartil terang penuh perhatian.” (Al-Muzzammil: 1-4).
Syahdan, tidak ada alasan lagi untuk tidak beruzlah. Sedianya kita bisa mengalokasikan waktu dan suasana untuk merenung, untuk bertafakur. Sehari semalam, misalnya, kita menyibukkan pikiran dengan membaca buku yang menggugah bukan yang merusak pikiran.
Sehari semalam beruzlah dari manusia, seraya mendekatkan diri kepada pengetahuan akan diri sendiri, akan identitas sebagai hamba. Mendekatkan diri untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat ketuhanan. Jadi “lapangan tafakur” bisa berupa membaca Al-Quran, membaca sejarah Nabi Saw., mengontinukan membaca selawat, dan membaca kitab-kitab hikmah, dan lain sebagainya.