BARISAN.CO – Dengan yakin, Syekh Ibnu Ajibah memapar bahwa menghindari debu riya’ adalah melalui tafakur. Dan, tafakur tidak akan sempurna kecuali dengan uzlah. Keyakinan begitu rupa, yang meneruskan warisan ajaran Syekh Ibnu ‘Athaillah, “Tiada sesuatu yang manfaat bagi hati sebesar uzlah untuk memasuki medan pemikiran.”
Uzlah berarti mengasingkan diri. Uzlah adalah berkesendirian dalam keheningan diri. Dengan begitu, niscaya kita akan bisa mendalami hakikat. Mengagungkan Allah, dan mengutamakan segala hal yang diridai-Nya.
Lebih dalam Syekh Ibnu Ajibah mengungkap bahwa tidak ada satu perkara yang lebih memberikan manfaat bagi hati dibanding uzlah yang disertai tafakur. Menurut sufi yang berpengaruh di Maroko pada abad ke-18 ini, uzlah itu serupa pantangan makan, dan tafakur serupa obatnya. Bahwa obat tiada guna tanpa pantangan makan, dan tidak ada guna pantangan makan jika tiada obat. Sehingga, tidak ada kebaikan sedikit pun, beruzlah yang tak disertai tafakur, dan tidak ada peningkatan dalam bertafakur yang tidak dibarengi uzlah.
Jadi di sini kita diseru kepada dua hal: uzlah dan tafakur. Uzlah mirip dengan pematangan bagi seorang yang lagi sakit. Tafakur mirip dengan obatnya. Uzlah sangat penting bagi ruh, sebagaimana pentingnya berpantang dari makanan yang berbahaya bagi badan. Tafakur juga penting bagi akal dan ruh, seperti pentingnya obat bagi tubuh yang sakit.
Kemudian, Syekh Ajibah memerinci manfaat uzlah bagi para pemula. Pertama, selamat dari bencana yang diakibatkan oleh lidah, karena orang yang menyendiri pasti tidak akan bertemu dengan orang yang mengajaknya bicara.
Kedua, terjaga dari bencana yang diakibatkan oleh penglihatan. Karena, orang yang mengasingkan diri dari manusia pasti terhindar dari melihat fatamorgana dunia beserta perhiasannya. Dengan pengasingan diri, nafsu terhalang dari memuliakan atau berlomba mendapatkan dunia.
Ketiga, menjaga hati dan melindunginya dari riya’, mencari muka, serta berbagai penyakit hati lainnya. Keempat, menghasilkan zuhud dalam dunia dan qana’ah darinya. Tidak ada keraguan bahwa orang yang mengasingkan diri tidak lagi melihat kesenangan dunia.
Kelima, terhindar dari teman yang jahat dan dari bercampur dengan orang-orang yang hina. Sebuah hadits menyatakan, “Perumpamaan teman duduk yang jelek adalah seperti alat pandai besi, jika tidak membakar, paling tidak akan dapat baunya.”
Keenam, tenang untuk beribadah, berzikir serta berketetapan hati untuk bertakwa dan berbuat baik. Sudah lazim, kala sendirian niscaya tenang untuk beribadah, dan anggota badan serta hati bisa berkonsentrasi.
Ketujuh, merasakan manisnya taat dan mendapat rasa lezat dalam bermunajat, karena jiwanya tenang. Kedelapan, ketenangan hati dan badan, karena dalam bergaul dengan banyak orang terdapat hal-hal yang dapat menyebabkan hati menjadi letih karena mementingkan urusan mereka. Badan juga letih karena menuruti tujuan dan maksud mereka, walau hal itu mengandung pahala. Dan, kesembilan, menjaga diri dan agamanya dari pertentangan dan permusuhan karena pergaulan.
Begitulah manfaat uzlah. Namun, ada yang berpendapat, uzlah sudah tak relevan lagi dan bahkan bertentangan dengan sunah Nabi Saw. Dalam anggapan sebagian orang itu, Nabi Saw. telah meninggalkan kebiasaan uzlah semenjak turun wahyu di Gua Hira. Benarkah demikian? Kalau benar, berarti untaian Syekh Ibnu ‘Athaillah ini pun salah.
Mari kita renungi lagi ucapan Sykeh Ibnu ‘Athaillah, “Tiada yang lebih berguna bagi hati selain uzlah. Dengan uzlah, hati memasuki lapangan tafakur, memasuki medan pemikiran.” Yang sekali lagi, kita dapati sebuah untaian hikmah bahwa dengan uzlah niscaya kita mendapat keteguhan hati yang disebabkan oleh tafakur dan kesempatan lebih untuk mengambil pelajaran. Bukankah “berpikir sesaat lebih baik daripada beribadah selama tujuh puluh tahun?”