Oleh: Wildan S Niam
Barisan.co – Pandemi Covid-19 mengubah banyak hal, dan belum selesai mengubah banyak hal yang lain lagi. Dalam waktu dekat, Hari Raya Idul Adha tahun 2020 juga pasti akan berbeda dari yang sudah-sudah. Jelas bahwa ada yang harus diperhatikan saat tiba waktunya berkurban nanti, terutama: protokol kesehatan.
Pada Hari Raya Idul Fitri kemarin (24 Mei 2020), seluruh umat Islam atau setidaknya sebagian besar sudah membuktikan bahwa, walaupun pelaksanaan ritual agama dibatasi atas nama protokol kesehatan, pandemi Covid-19 ternyata tak memudarkan nilai dalam tradisi hari raya, terutama soal silaturahmi. Kita tetap bisa menghadirkan kasih dan cinta dengan saling memaafkan meski dilakukan secara virtual.
Dari situlah barangkali penting untuk diyakini, bahwa umat Islam pada Hari Raya Idul Adha besok (31 Juli 2020), akan bisa melakukan hal yang sama lagi, yakni, tetap berkomitmen memerangi pandemi tanpa harus memudarkan keutamaan ibadah. Tapi, agak disayangkan mengetahui bahwa ada yang meragukan hal itu bisa terwujud: Muhammadiyah.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah tampak kurang yakin umat Islam bisa menyembelih hewan-hewan kurban dengan berpedoman pada protokol kesehatan. Dalam surat edarannya bernomor 06/EDR/I.0/E/2020, PP Muhammadiyah menganjurkan pada calon shohibul qurban (mereka yang mampu berkurban), untuk lebih memprioritaskan sisi karitatif-praktis daripada solidaritas-ritual.
Dengan asumsi bahwa pandemi Covid-19 telah meningkatkan jumlah kaum duafa, Muhammadiyah menyarankan umat Islam lebih mengutamakan bersedekah uang daripada menyembelih hewan kurban. Uang sedekah itu nantinya disalurkan ke lembaga filantropis lalu dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan di daerah tertinggal, terpencil, dan terluar di Indonesia.
Apa maksud PP Muhammadiyah, adalah jelas untuk menjaga keselamatan umat dari ancaman Covid-19. Sayangnya, kalau boleh dimirip-miripkan, anjuran Muhammadiyah itu barangkali lebih mirip ‘intervensi yang kebablasan’.
Dalam kaca mata fikih, banyak dalil mengatakan bahwa tidak dapat dianggap benar bila hewan kurban dikonversi uang. Dan oleh karena itu dengan sendirinya keberadaan hewan sembelihan (yang telah memenuhi kriteria tertentu, baik itu kambing, unta, sapi, dll) merupakan hal yang utama. Dan daging hewan kurban inilah yang lantas dibagikan kepada para mustahik (yang berhak). Bukan uang.
Tetapi lebih dari itu, ada satu kenyataan penting yang tidak dihiraukan PP Muhammadiyah. Kita tahu betapa pandemi Covid-19 menyebabkan banyak masyarakat terancam kelaparan. Bukan karena tidak ada sesuatu untuk dimakan, melainkan sebab banyak pegawai di-PHK, toko-toko tutup, dan orang menjadi miskin karena menganggur, yang mana itu menjadi handicap penyebab masyarakat kesulitan mengakses pangan.
Dikatakan lebih jelas, ketersediaan pangan hari ini lebih berharga daripada uang. Semua orang sedang butuh pangan pokok dan sudah semestinya Idul Adha dijadikan momentum.
Perayaan Idul Adha punya kemampuan menggerakkan ‘orang berpunya’ membantu kebutuhan non-uang bagi sesamanya. Bagi orang-orang berpunya itu, berkurban ialah kesempatan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan barangkali itulah satu-satunya pasal quid pro quo (‘apa’ untuk ‘apa’) terbaik yang membuat ibadah kurban istimewa. Tanpa anasir-anasir duniawi, para pekurban, orang-orang ikhlas itu, memberi hewan ternak sepanjang dibagi-bagi demi kebahagiaan bersama.
Dan itulah yang mungkin tidak dilihat oleh PP Muhammadiyah. Bahwa, ketika negara sedang kesulitan dalam distribusi pangan pokok akibat pembatasan sosial, Islam sebagai rahmat datang menawarkan solusi.