Seorang advokat sudah barang tentu akan membela kliennya dengan dasar membela hak hukumnya. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa advokat itu tidak dimasukkan saja sebagai pegawai negeri yang digaji pemerintah, sebagaimana penegak hukum lainnya (polisi, jaksa, hakim).
Sehingga nantinya advokat dalam menjalankan tugas untuk menegakkan keadilan itu tidak terbebani oleh pihak-pihak yang membayarnya. Betapa hingga saat ini, tidak jarang masyarakat itu menganggap advokat itu sebagai profesi yang kurang baik. Mengenai advokat koruptor sama dengan koruptor tentu saja masih debateble. Kita tidak fokus menggiring masalah tersebut sebagai korupsi atau tidak, tetapi lebih pada refleksi cara berhukum kita.
Praktik penegakan hukum Indonesia dalam pemberantasan korupsi masih dihadapkan pada upaya perlawanan yang luar biasa. Perlawanan itu muncul dari pihak-pihak yang ingin melemahkan wewenang KPK melalui revisi undang-undang. Walaupun klaimnya adalah untuk menguatkan KPK, tetapi tidak sedikit dari pengamat dan ahli hukum justru mengatakan yang sebaliknya. Selain itu, perlawanan juga muncul dari pihak pelaku tindak pidana korupsi dengan menyiapkan infrastruktur hukumnya guna membebaskan diri dari jerat hukum.
Upaya perlawanan tersebut bisa dilihat dari respon tersangka tindak pidana korupsi. Biasanya mereka bilang: saya tidak bersalah, saya tidak terlibat, saya hanya dijebak. Langkah selanjutnya yang ditempuh adalah dengan menyiapkan penasehat hukumnya (advokat). Dalam benak seorang koruptor, seakan-akan ada keinginan, bagaimana agar bisa bebas, bagaimana agar tidak terbukti. Kemudian menyiapkan langkah agar kasusnya di pengadilan itu bisa dimenangkan. Kita banyak melihat advokat yang seharusnya ikut bertanggungjawab jawab dalam menegakan keadilan, justru terkesan hanya membela koruptor (kliennya)
Jika kepentingan yang digunakan tersangka pidana korupsi dalam pengadilan adalah kemenangan, maka pengadilan dijadikan arena pertempuran antara jaksa dan advokat. Masing-masing dari jaksa dan advokat saling menyiapkan dalil hukum untuk bertarung. Siapa lebih mahir dalam menggunakan logika hukum dan memainkan pasal undang-undang dialah yang berpeluang besar dalam memenangkan suatu perkara. Dan hakim tidak bisa berbuat banyak melihat berjalannya sistem yang demikian. Peradilan yang semula adalah tempat untuk mencari keadilan, kualitasnya menurun menjadi ajang untuk mencari menang.
Kepentingan untuk mencari menang menyebabkan anggapan bahwa kemenangan itu lebih penting dari pada keadilan. Keadilan menjadi ditimbang berdasarkan menang-kalah. Untuk mencari menang, maka segala upaya dilakukan. Bahkan jika memungkinkan cara-cara kotor akan ditempuh seperti suap dan intimidasi.