“Amal perbuatan itu kerangka bangunan, sedang ruhnya adalah keikhlasan hati.” (Hikmah 10, Syekh Ibnu ‘Athaillah).
BARISAN.CO – Hikmah ini adalah lanjutan sebelumnya, bahwa kewajiban atau amalan-amalan itu tidak terbatas dalam rukun Islam, tetapi banyak dan beragam, yang merupakan cerminan hati. Nah, di hikmah ini, spesifik mengulik cerminan hati, atau niat dalam ungkapan yang lazim.
Niatlah yang sebetulnya menjadi pendorong dan ukuran sebuah amal, akan baik tidaknya, akan diterima tidaknya. Bahwa setiap praktik baik, bermanfaat buat banyak orang, tapi ternyata diniatkan tidak untuk mendapatkan rida Allah, maka tidak bernilai amal tersebut, dalam ukuran dan hukum Tuhan.
“Kami pertontonkan kepada mereka amalnya, lalu Kami jadikannya bagai debu yang hilang beterbangan.” (Al-Furqan: 23).
Jadi, kesimpulan yang bisa kita tarik, amal saleh itu mencakup seluruh amalan yang mewujudkan kemaslahatan manusia, baik individu maupun masyarakat. Tata urutannya, kita harus memposisikan kemaslahatan agama di atas seluruh kemaslahatan. Baru kemudian, disusul dengan kemaslahatan kehidupan, akal, keturunan, dan harta benda.
Kemudian, amal saleh tersebut bisa menjadi sarana penghambaan kepada Allah. Syaratnya: ikhlas. Yakni niat suci demi rida Tuhan, bukan demi memuaskan nafsu dan menggapai kesenangan hidup. Sehingga jelas, dari niat itu ketahuan, siapa diri kita: masih sebagai hamba Tuhan, atau sebaliknya telah menjadi hamba dunia, hamba nafsu, dan hamba keinginan sesaat.
Syekh Ibnu ‘Athaillah tegas menyebut, sekiranya kita beramal, tapi minus ikhlas, sama derajatnya dengan bangkai. Amal kita tidak hidup, hanya berupa kerangka tanpa ruh. Betapa sayang, jika demikian. Maka, selanjutnya beliau menuturkan, “Pendamlah wujud dirimu dalam tanah humul, karena tumbuhan dari benih yang tidak dipendam itu tidak sempurna buahnya.”
Humul artinya terabaikan dan tidak dikenal. Artinya menjauh dari ketenaran dan faktor-faktor yang bisa menjadikan terkenal. Sekira kita mengemban tugas, apa pun itu, ada baiknya kita terlebih dahulu menempa diri, mematangkan akal, dan mendidik jiwa. Ya, prinsipnya membenamkan diri dari ketenaran dan jangkauan khalayak luas. Jangan langsung tampil mengemuka, unjuk diri di atas pentas sorotan sosial.
Itulah teknis yang ditawarkan sang syekh, agar kita bisa ikhlas, yakni kesediaan menempa dan memahami diri terlebih dahulu. Memahami identitas sebagai hamba milik Allah. Memberikan nutrisi bagi akal dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman hidup. Memperbanyak zikir dan menjadikannya sebagai wirid yang dilakukan secara kontinyu. Memperbanyak baca Al-Quran dan merenungkan makna-makna. Juga membersihkan hati dari mencintai selain Allah. Melepaskan kemelekatan hati dari segala sesuatu yang menghampar di alam semesta.
Dari situlah, insya Allah, belenggu dunia, ambisi untuk dipuja-puji banyak orang, berkurang sedikit demi sedikit dari hati, dan digantikan oleh perasaan kuasa Tuhan. Sehingga, ikhlas hanya semata Allah, benar-benar menjadi ruh setiap laku yang kita kerjakan.
Syahdan, keinginan untuk pamer pun tereliminasi dengan sendirinya, karena sadar Dia Maha Melihat. Sadar bahwa la hawla wa la quwwata illa billah, tiada arti pamer, karena toh semua ini bukan produk asli kita.
Masih ingin pamer?