Rasio Gini Nasional
(Sumber data: Badan Pusat Statistik; 2009-2020, kondisi Maret)
Pada tahun 1996 mencapai 0,356, sempat menurun pada tahun 1999. Kemudian berangsur meningkat kembali hingga mencapai 0,376 pada tahun 2007. Sempat turun pada tahun 2009, dan meningkat kembali pada tahun-tahun berikutnya. Tahun 2013 merupakan ketimpangan tertinggi dengan angka rasio gini mencapai 0,413.
Tahun 2014-2019 memperlihatkan tren rasio gini yang menurun. Klaim Presiden Jokowi di atas memang cukup beralasan. Hanya saja, penurunan terbilang tidak terlampau signifikan. Tampak kurang cepat, tercatat hanya turun sebesar 0,024 selama lima tahun. Dan kondisi tahun 2019 masih lebih timpang jika dibanding kurun waktu tahun 1996 sampai dengan 2010.
Perkembangan rasio gini Indonesia dapat juga dicermati berdasar wilayah perkotaan dan perdesaan. Tercatat, rasio gini perkotaan selalu lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Ketimpangan ekonomi berdasar indeks ini, lebih tampak di perkotaan dibanding perdesaan.
Rasio Gini Perkotaan & Perdesaan
(Sumber data: Badan Pusat Statistik; 2009-2020, kondisi Maret)
Pola pergerakan rasio gini di wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan Indonesia tidak selalu searah, dan terutama tidak dalam laju kecepatan yang setara. Sebagai contoh, pada periode tahun 2002-2005 dan 2012-2013, gini rasio perkotaan mengalami peningkatan, sedangkan perdesaan mengalami penurunan.
Pada periode 2015-2019, gini rasio di kedua wilayah sama-sama cenderung turun. Laju penurunan di perkotaan lebih cepat dibanding perdesaan. Ketimpangan di perkotaan membaik lebih signifikan.
Terdapat perbedaan rasio gini yang cukup signifikan antar propinsi. Laju penurunanan ketimpangan pun berbeda-beda. Pada Maret 2020, provinsi yang mempunyai nilai rasio Gini tertinggi adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu sebesar 0,434. Sedangkan yang terendah adalah Provinsi Bangka Belitung yang sebesar 0,262.
Jika dilihat dari rasio gini nasional yang sebesar 0,381, terdapat delapan provinsi dengan angka yang lebih tinggi. Di antaranya: Daerah Istimewa Yogyakarta (0,434), Gorontalo (0,408), Jawa Barat (0,403), DKI Jakarta (0,399), Papua (0,392), Sulawesi Tenggara (0,389), Sulawesi Selatan (0,389), dan Papua Barat (0,382). Provinsi lainnya memiliki ketimpangan yang lebih rendah.
Kontributor: Awalil Rizky