TERUS TERANG saya jadi termantapkan soal pengasuhan anak, seusai menyimak ceramah Gus Baha. Acap kali kita orangtua menilai bahwa anak yang berani terhadap orangtua itu akan kualat, tapi Gus Baha sebaliknya. Justru orangtua yang akan kena tulah jika tak memuliakan anak. Jika tidak memanjakan anak. Jika berani terhadap anak.
Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Quran LP3IA itu tegas-tegas mengatakan bahwa memanjakan anak merupakan ajaran nabi-nabi terdahulu, dengan niat untuk menjaga nilai tauhid. Beliau mengungkapkan bahwa seorang wali akan terus menjadi wali sampai mati justru karena longgar terhadap keluarga.
Gus Baha menyebut spesial jika seorang ayah dan ibu melatih anak salat. Sehingga anak familiar dengan kalimat La ilaha illa Allah, Allah Akbar, Subhanallah, dan kalimat-kalimat mulia lainnya. Nah, sesuatu yang spesial itu harus dipertahankan. Caranya? Ya, paling tidak sang anak tidak sampai kecewa terhadap orangtua. Misal anak suka jajan, ya, jangan dilarang untuk jajan! Fasilitasi anak. Suka makan enak, ya, kasih makan yang enak. Dan, kesemuanya itu demi mengawal kalimat tauhid serta kebenaran-kebenaran Islam yang terpatri dalam benak anak di keluarga.
Jangan sampai terjadi, anak mengenal dan menikmati apa yang disukai dari orang lain, bukan dari keluarga. Jangan sampai anak mengidolakan orang lain yang tidak salat, orang yang tak pernah membenakkan kalimat tauhid. Jangan sampai! Itulah rahasia, kenapa semua nabi itu melonggarkan anaknya. Nabi Muhammad saw. misalnya, tatkala salat diribeti Hasan dan Husein. Namun, beliau diam saja alias tidak marah.
Bahkan semua ulama perawi mengatakan, ketika malaikat Jibril bikin janji dengan Nabi saw. terpaksa tidak bisa masuk ke rumah karena di kolong tempat tidur Nabi ada anak anjing. Anak anjing tersebut merupakan hewan mainan Hasan dan Husein. Dan, sekali lagi Nabi saw. tidak lantas memarahi kedua cucu tersebut. Nabi sadar, bahwa demi mengawal kalimat tauhid, anak-anak jangan sampai kecewa.
“Kalau kamu wali yang betul harus menjadikan kalimat tauhid abadi ke keturunan. Dan itu yang dilakukan Nabi Ibrahim yang hanya berobsesi kalimat tauhid abadi di keturunannya. Ismail itu tidak tahu apa-apa, tapi diajak untuk membangun kabah.” ungkap Gus Baha.
Kemudian, kenapa memuliakan anak itu penting? Ya, tidak lain, jangan sampai karena orang tua terlampau keras, anak menjadi kecewa dengan sistem keluarga dan sistem Islam yang diterapkan dalam keluarga. Anak merupakan harapan melanjutkan kalimat tauhid ke generasi dan generasi selanjutnya. Jadi, orangtua menyervis anak, demi mengawal kalimat tauhid itu ibadah.
“Anak sudah mau belajar Al-Quran, mau ibadah, itu harus didukung. Sehingga, kalau anak senang mainan, ya kasih aja mainan! Supaya anak tidak kecewa. Sebab yang bakal meneruskan tauhid itu anak.” tandasnya.
Gus Baha mengutip rintih Nabi Zakaria, “Aku sangat khawatir akan keluargaku sesudah kutinggalkan karena istriku mandul, berilah aku keturunan dari karunia-Mu. Seorang pewaris yang akan mewarisi aku, dan mewarisi keturunan Yakub dan jadikan dia ya Allah, orang yang diridai.” (Maryam: 5-6).
Doa Nabi Zakaria yang meyakinkan kita bahwa anak memang pewaris kalimat tauhid. Lebih lanjut, Gus Baha menyebut bahwa amal saleh yang dilakukan anak sendiri jauh lebih memberi pahala bagi kita, ketimbang amal saleh dari santri atau murid.
“Santri itu orang lain, paling mereka hanya kirim fatihah. Atau ketika hati mereka gusar, baru mereka mencari kuburanmu. Itu juga kalau hati mereka sedang gusar. Kalau anak, baik dia niat mengirim fatihah untukmu atau tidak, selama dia beramal saleh maka otomatis pahalanya akan mengalir ke kamu.” seloroh Gus Baha meyakinkan.