Oleh: Achmad Fachrudin *
DPR dan pemerintah memutuskan menunda Pilkada 2022 dan 2023 dan baru akan digelar bersamaan Pemilu Serentak 2024. Untuk menghindari terjadinya kekosongan kekuasaan (vacuum of power) cukup lama, daerah yang masa jabatannya berakhir di 2022 dan 2023 akan diisi oleh Pejabat (Pj) Kepala Daerah. Meskipun Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menjamin roda pemerintahan daerah akan berjalan normal. Tetapi sejumlah potensi problem krusial tetap membayangi dan harus diwaspadai.
Berdasarkan data yang tersedia, paska tiadanya Pilkada Serentak di 2022 dan 2023, akan ada 272 daerah dari 548 daerah akan dipimpin oleh Pj Kepala Daerah. Sementara masa jabatannya Pj Kepala Daerah cukup lama. Bila pada Pilkada 2020 petahana harus cuti selama 71 hari. Kini, kekosongan pemimpin lokal definitif, cukup lama.Tergantung masa akhir jabatannya. Bahkan ada bisa yang mencapai sekitar 20 bulan.
Selain itu, jumlah Pj Kepala Daerah yang harus diangkat Kemendagri, cukup banyak. Hal ini mengingat di Pilkada 2022 diikuti 101 daerah yakni 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Sementara pilkada 2023 diikuti 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115.
Ini artinya, untuk Pj Gubernur, Pemerintah Pusat harus menyiapkan 24 orang, dengan ratusan lainnya untuk Pj Walikota dan Pj Bupati. Mungkin karena cukup banyaknya Pj Gubernur yang harus diangkat, Kemendagri mempertimbangkan kemungkinan Pj Gubernur dari Sekretaris Daerah (Sekda).
Dimensi pengaturan
Mengacu UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, jika ada Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah yang mangkat atau melakukan cuti untuk kampanye, daerah tersebut akan dipimpin oleh Pejabat Sementara (Pjs) Gubernur, Bupati atau Walikota.
Sebutan atau istilah Pjs berlaku bagi pejabat yang cuti karena kampanye. Sedangkan yang habis masa jabatannya, disebut dengan Pj Kepala Daerah. Dalam proses pengangkatan Pjs selama ini, untuk posisi gubernur, diangkat dari pejabat Kementrian yang kepangkatannya sudah memenui syarat (eselon 1). Sedangkan pejabat Pemprov (eselon 2) untuk Pj Bupati atau walikota.
Adapun tugas dan wewenangnya, sebagaimana diatur Peraturan Mendagri No. 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 74 Tahun 2016 Tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Wali Kota Pasal 9 poin (1) menyebutkan, memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat, memfasilitasi penyelenggaraan Pilkada yang definitif serta menjaga netralitas pegawai negeri sipil.
Selain itu, Pjs melakukan pembahasan rancangan Perda dan dapat menandatangani Perda setelah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri, serta melakukan pengisian pejabat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Mendagri. Pjs juga mempunyai tugas menjalankan kebijakan strategis yang telah ditetapkan pemerintah. Antara lain menjalankan upaya penanggulangan penyebaran Covid-19. Pjs dapat mengambil langkah-langkah yang sinergis serta penegakan hukum protokol kesehatan Covid-19, serta penanganan dampak sosial dan ekonomi di daerah.
Pengaturan lainnya, sebagai disebutkan pada surat kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-30/V.100-2/99 tanggal 19 Oktober 2015, Pj Kepala Daerah dilarang melakukan hal-hal sebagai berikut: mutasi pegawai, melakukan perjanjian yang telah dikeluarkan oleh pejabat sebelumnya ada/atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya, membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya, dan membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
Potensi Masalah
Dari sisi peraturan perundangan, pengangkatan Pj Kepala Daerah cukup kuat. Tetapi secara legitimasi politik, bisa lemah karena Pj Kepala Daerah bukan dipilih secara langsung oleh rakyat ataupun DPRD, melainkan diangkat oleh pemerintah pusat. Lemahnya legitimasi politik dari rakyat dan DPRD terhadap Pj Kepala Daerah, dapat menjadi kendala serius bagi Pj Kepala Daerah saat melaksanakan fungsi komunikasi dan koordinasi dengan DPRD maupun berbagai institusi politik dan sosial di daerah.
Meskipun pihak Kemendagri menjamin proses pengisian dan pelaksanaan Pj Kepala Daerah tidak ada masalah dengan berbekal pengalaman sebelumnya, namun demikian bukan berarti hal serupa akan secara otomatis berlaku serupa di masa depan. Hal ini terutama disebabkan masa jabatan Pj Kepala Daerah cukup lama. Tergantung masa akhir jabatannya. Bahkan bisa hampir menembus dua tahun.
Lamanya masa jabatan Pj Kepala Daerah memaksa Kemendagri mempersiapkan dan menyeleksi Pj Kepala Daerah secara lebih profesional, transparan dan akuntabel. Apalagi jika Pj Kepala Daerah tersebut harus diambil dari pejabat di lingkungan Kemendagri. Harus dihindari kemungkinan terjadinya kerawanan intervensi, politisasi, jual beli jabatan, dan sebagainya. Dan mengangkat Pj Kepala Daerah yang tidak kompeten, tidak memiliki kapasitas, kapabilitas dan akseptabilitas.
Selain itu, sebagai dampak cukup lamanya Pj Kepala Daerah memangku masa jabatan, Pj Kepala Daerah diperkirakan akan menghadapi berbagai dinamika, masalah dan tantangan baru. Yang memaksanya harus mengambil keputusan dan kebijakan baru dan berpotensi berbeda dengan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh Kepala Daerah sebelumnya.
Masalahnya, jika mengacu surat kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor K.26-30/V.100-2/99 tanggal 19 Oktober 2015, Pj atau Pjs Kepala Daerah banyak larangan atau pembatasannya. Hal ini bisa menjadi dilema dan problem serius bagi Pj Kepala Daerah. Padahal, sekalipun sebagai Pj Kepala Daerah, tentu tidak ingin bekerja hanya bagaikan bak stempel dan sekadar merampungkan sisa masa jabatan tanpa kreasi dan inovasi yang lebih berkualitas.
Selama ini terkadang pemerintah pusat dianggap kurang mampu berkomunikasi dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Sehingga terdapat sejumlah kebijakannya tidak berjalan atau mendapat penolakan dari pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Melalui instrumen pengangkatan Pj Kepala Daerah dari pusat, problem komunikasi dan koordinasi diharapkan bisa diatasi.
Dengan pengangkatan Pj Kepala Daerah oleh pemerintah pusat, apakah problem komunikasi antara pusat dengan daerah, bakal lenyap? Belum tentu. Kemungkinan terjadinya miskomunikasi dan miskoordinasi akan terulang. Hal ini terutama akan terjadi manakala pemerintah pusat tidak memperbaiki pola dan kualitas komunikasinya. Jadi, pengangkatan Pj Kepala Daerah oleh pemerintah pusat belum secara otomatis menjamin komunikasi dan koordinasi dengan Pemerintah Daerah, mulus dan berkualitas.
Antisipasi dan Solusi
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan gegara banyaknya daerah dipimpin oleh Pj Kepala Daerah paska 2022 dan 2023 hingga terpilihnya Kepala Daerah definitif pada 2024, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, melakukan kajian komprehensif mengenai berbagai peraturan perundangan terkait. Terutama menyangkut larangan Pj Kepala Daerah dalam mengambil kebijakan strategis. Jangan sampai karena banyaknya larangan, membuat kinerja Pj Kepala Daerah disfungsional.
Kedua, perlu sosialisasi peraturan perundangan yang mengatur Pj Kepala Daerah bagi berbagai pemangku kepentingan. Terutama pada daerah yang akan dijabat Pj Kepala Daerah. Hal ini diperlukan agar terjadi kesamaan pemahaman mengenai fungsi, peran dan wewenang Pj Kepala Daerah. Selain untuk tetap memelihara stabilitas dan kondusivitas masyarakat yang akan dipimpin oleh Pj Kepala Daerah.
Ketiga, kandidat Pj Kepala Daerah harus dipersiapkan dengan matang. Jangan asasl comot dan droping. Sebab bisa saja kultur birokrasi dan masyarakat lokal berbeda dengan latar belakang kultur Pj Kepala Daerah yang diangkat oleh pemerintah pusat. Sangat bagus manakala calon-calon Pj Kepala Daerah sejak sekarang diperkenalkan dan dikondisikan ke publik untuk mendapatkan respon dan umpan balik (feed back) kritis dan konstruktif
Keempat, beberapa bulan lalu, muncul gagasan dari Direktur Jenderal Otonomi Daerah Dalam Negeri Akmal Malik yang akan mengangkat Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai Pj Walikota atau Bupati. Sebelumnya di lingkungan kepolisian sudah ada preseden ketika Komisaris Jenderal M. Iriawan dilantik sebagai Pj Gubernur Jawa Barat oleh Mendagri Tjahjo Kumolo pada 2018. Apakah rencana pengangkatan Sekda sebagai PJ Kepala Daerah dan preseden pengangkatan petinggi kepolisian menjadi Kepala Daerah akan diwujudkan? Tentu memerlukan kajian mendalam.
Kelima, bagi elemen penggiat demokrasi, akademisi dan pemerhati masalah politik dan birokrasi lokal, adanya Pj Kepala Daerah yang menjabat dalam kurun waktu cukup lama menatang untuk dilakukan pengkajian serius dalam berbagai aspeknya. Hal ini mengingat cukup banyak potensi masalah di balik banyaknya Pj Kepala Daerah diangkat tanpa melalui Pilkada. Yang bisa jadi pemerintah pusat belum membayangkan dan potensi dan kompleksitas masalah dan implikasinya.
Diatas semua, harapannya agar muncul dan hadirnya Pj Kepala Daerah yang bakal mengisi pos penting di 272 daerah di Indonesia paska berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah pada 2022 dan 2023 hingga berakhir Pilkada 2024, benar-benar diisi oleh pejabat yang credible, profesional, berintegritas, mengenal dan dikenal daerahnya. Bukan semata karena aturan memberi peluang bagi pemerintah pusat untuk mengisi kursi lowong pemimpin lokal yang masa jabatannya berakhir. Muaranya diharapkan terwujudnya good and clean governance dan tidak menimbulkan dampak negatif sebagai atas kehadiran Pj Kepala Daerah. [rif]
* Achmad Fachrudin adalah
Dewan Pembina Literasi Demokrasi Indonesia
Diskusi tentang post ini