Scroll untuk baca artikel
Opini

Mengapa Presiden Sering Berkelit dari Kritik?

Redaksi
×

Mengapa Presiden Sering Berkelit dari Kritik?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Anatasia Wahyudi

Barisan.co – Pada 15 Juli lalu, Jokowi mengungkapkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal kedua bisa anjlok hingga minus 17% jika lockdown diterapkan secara penuh beberapa bulan yang lalu. Bahkan melalui konferensi video yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (26/7) membenarkan Jokowi. Ia mengatakan jika Indonesia sebelumnya melakukan lockdown, RI sudah bubar.

Selandia Baru salah satu negara yang melakukan lockdown pada Maret, kini menjadi negara yang perekonomiannya cepat pulih karena mampu menjaga rasio utang yang rendah serta kemampuan untuk menerapkan pelonggaran kuantitatif untuk menjaga suku bunga rendah. Bahkan masyarakatnya mengapresiasi keputusan pemerintahan yang berani dan tegas dengan mengambil sikap untuk menutup perbatasan.

Bagaimana presiden dan sekelas menteri dapat mengatakan hal itu ketika saat ini jumlah pasien positif Covid-19 terus meningkat?

Berdasarkan data dari covid.go.id pada hari Minggu kemarin jumlah kasus positif nyaris mencapai 98.778 kasus dengan jumlah meninggal dunia sebanyak 4.781 orang. Menurut data Worldometers.info, Indonesia menjadi salah satu negara terburuk dalam melakukan tes sesuai dengan aturan World Health Organization (WHO). Artinya, kemungkinan masih ada begitu banyak orang yang belum terlacak akibat rendahnya tes yang dilakukan.

Dalam demokrasi, kekuasaan yang lebih besar memberi kesempatan untuk melakukan kesalahan dan penyelewengan yang semakin besar pula. Secara moral, pemimpin sama saja dengan rakyat yang dipimpinnya bahkan jauh lebih rentan kesalahan dan kejatuhan karena memiliki kekuasaan serta di dalam dirinya selalu mengandung kecenderungan untuk disalahgunakan. Sehingga menurut Ignas Kleden pemimpin yang baik dalam sistem demokrasi bukanlah pemimpin panutan.

Tak usah berpotensi menjadi pemimpin tanpa cela atau bebas dari segala bentuk kecacatan. Secara demokratis, pemimpin yang baik hanya perlu tunduk pada pengawasan publik baik melalui hukum yang berlalu maupun kontrol sosial dari masyarakat. Pemimpin yang baik jika melakukan kesalahan, ia siap untuk dikoreksi.

Secara legitimasi akan terjamin, jika memiliki moral courage untuk mengakui kesalahan, memperbaiki, dan bersedia menerima sanksi atas kesalahan tersebut. Secara politik, akan jauh lebih menguntungkan dibanding berkelit dengan berbagai dalih menyatakan ia tidak bersalah.

Saat ini, di masa krisis seperti ini, alangkah baiknya jika Jokowi mau mengikuti jejak gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Ia memimpin sesuai dengan pemimpin demokrasi yang seharusnya. Anies mengakui bahwa jumlah kasus positif terus bertambah karena semakin gencarnya tes massal yang dilakukan.

Klaim yang dinyatakan oleh Anies pun sudah diakui oleh WHO bahwa Jakarta satu-satunya provinsi di Pulau Jawa yang memiliki pengujian tes Covid-19 di atas standar minimun satu per seribu orang. Bahkan pada pekan ketiga Juni lalu, jumlah tes di Jakarta di angka 2 per seribu penduduk.

Perekonomian saat ini belum juga membaik. Kasus positif Covid-19 juga terus naik. Tidak ada jaminan dari ucapan yang dikeluarkan baik oleh Jokowi maupun Luhut tentang tidak melakukan lockdown menjauhkan Indonesia dari jurang resesi, karena IMF telah menyatakan bahwa Indonesia kemungkinan akan mengalami resesi.


Penulis: Anatasia Wahyudi

Editor: Ananta Damarjati