Scroll untuk baca artikel
Ekonopedia

Mengerti APBN [Bagian Satu]

Redaksi
×

Mengerti APBN [Bagian Satu]

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada 29 September 2020 lalu, disepakati Undang-Undang APBN Tahun 2021. Sebelumnya, Rancangan APBN (RAPBN) diserahkan Pemerintah pada pertengahan Agustus.

UU APBN 2021 akan dilaksanakan mulai 1 Januari hingga 31 Desember nanti. Setelahnya akan ada laporan realisasi yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil pemeriksaannya akan disampaikan kembali ke DPR.

Sesuai namanya, APBN berisi besaran angka anggaran, terutama tentang rincian pendapatan dan belanja negara. Pemerintah sering menggunakan istilah postur APBN untuk memberi gambaran umumnya. Dalam praktik penyajian, Pemerintah biasa menggunakan istilah postur ringkas.

Postur ataupun postur ringkas terdiri dari lima bagian. Yaitu: pendapatan, belanja, keseimbangan primer, defisit (surplus), dan pembiayaan. Postur ringkas APBN 2019 telah direalisasi dan diaudit oleh BPK. APBN 2020 telah direvisi dua kali, hingga memiliki 3 versi.

Postur Ringkas APBN 2005-2021
20192020202020202021
RealisasiAPBNPerpres 54Perpres 72APBN
APendapatan Negara1.960,632.233,201.760,881.699,951.743,60
BBelanja Negara2309,292.540,422.613,822.739,172.750,00
CKeseimbangan Primer-73,13-12,01-517,78-700,43-633,10
DSurplus/Defisit (B-A)-348,65-307,23-852,94-1.039,22-1.006,40
EPembiayaan Anggaran402,05307,23852,941.039,221.006,40

(Sumber data: Kementerian Keuangan)

Dari lima bagian itu, perhatian awal perlu diberi kepada perkembagan kondisi tiga diantaranya. Yaitu: pendapatan, belanja, dan defisit atau surplus sebagai akibatnya.

Sebelum adanya pandemi Covid-19, pendapatan dan belanja selalu mengalami peningkatan nilai. Oleh karena belanja selalu melibihi pendapatan, maka selalu dialami defisit. Besaran defisitnya berfluktuasi. Secara nominal, realisasi defisit terbanyak dialami pada tahun 2019, yaitu sebesar Rp348,65 triliun.  

Pendapatan dan Belanja 2005-2021

(Sumber data: Kementerian Keuangan; 2005-2019: LKPP; 2020: Perpres 72: APBN)

Untuk keperluan analisis dan menimbang risiko, besaran defisit dinyatakan pula sebagai persentase dari besaran Produk Domestik Bruto (PDB). Undang-undan Keuangan Negara No.17/2003 juga memberi batasan yang diperbolehkan sebesar 3% dari PDB pada tahun bersangkutan. Dalam ukuran ini, realisasi defisit tertinggi dialami pada tahun 2015 yang mencapai 2,59% dari PDB. 

Defisit APBN 2005-2021

(Sumber data: Kementerian Keuangan; 2005-2019: LKPP; 2020: Perpres 72: APBN)

Oleh karena Pandemi Covid-19 dianggap kejadian khusus yang bersifat luar biasa, maka ditetapkan payung hukum khusus sebagai pengecualian dari Batasan itu. Perppu No.1/2020 yang kemudian ditetapkan menjadi UU No.2/2020 membolehkan defisit melebihi Batasan 3% hingga tahun 2022.

APBN 2020 yang ditetapkan melalui Perpres No.72/2020 dan berlaku hingga kini merencanakan defisit sebesar Rp1.039,22 triliun atau 6,34% atas PDB. APBN 2021 merencanakan defisit sebesar Rp1.006,40 triliun atau 5,70% atas PDB.

Selain faktor realisasi pendapatan dan belanja, persentase atas PDB ditentukan pula oleh realisasi besaran PDB pada tahun yang bersangkutan. Dengan kata lain, berhubungan langsung dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Dan oleh karena besaran yang dipakai merupakan PDB atas dasar harga berlaku, maka dipengaruhi pula oleh realisasi tingkat inflasi.

Sejauh ini, masih menjadi tantangan cukup berat menurunkan defisit hingga kembali di bawah 3% pada tahun 2023 nanti.

Kontributor: Awalil Rizky