Scroll untuk baca artikel
Ekonopedia

Mengerti APBN [Bagian Sebelas]

Redaksi
×

Mengerti APBN [Bagian Sebelas]

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – APBN memiliki pos yang bersifat pengeluaran, namun tidak dicatat sebagai belanja. Diperlakukan sebagai pembiayaan, karena menimbulkan “hak tagih” di kemudian hari. Pada bagian terdahulu dicontohkan tentang pengeluaran berupa investasi Pemerintah kepada BUMN. Investasi berarti kepemilikan, yang bisa saja dilepas atau dijual nantinya.

Dengan penalaran serupa, APBN membedakan Pendapatan dengan Penerimaan. Pendapatan merupakan penerimaan tanpa “kewajiban bayar” di kemudian hari. Penerimaan pajak penghasilan dan cukai tembakau, tidak membuat kewajiban bayar. Begitu pula penerimaan Sumber Daya alam.

Penerimaan terbesar selain pendapatan adalah penerimaan utang secara neto. Neto artinya utang baru yang diperoleh setelah dikurangi pembayaran atau cicilan utang lama. APBN menyebutnya sebagai “Pembiayaan utang”, yang dicatat dalam bagian Pembiayaan Anggaran. Penerimaan ini menimbulkan kewajiban di kemudian hari, yaitu melunasinya.

Pembiayaan utang tahun 2021 direncanakan sebesar Rp1.177,40 triliun. Jika realisasi sesuai dengan rencananya, maka utang pemerintah akan bertambah sebesar itu akibat pelaksanaan APBN. Nilainya melebihi target defisit yang hanya Rp1.006,40 triliun. Sedangkan pada tahun 2020 yang masih berjalan, pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp1.220,46 triliun, dengan target defisit sebesar Rp1.039,2 triliun.

Pembiayaan utang pada dua tahun anggaran ini bertambah secara luar biasa karena dampak pandemi. Tambahannya pun melebihi pelebaran defisit anggaran, karena adanya pengeluaran yang lebih besar dalam pos pembiayaan.

Meski demikian, laju kenaikan pembiayaan utang telah meningkat pada tahun 2019. Mencapai 17,03% dibanding tahun 2018. Padahal, pada tahun 2018 terjadi penurunan dibanding tahun 2017.  

Pembiayaan Utang dan Defisit, 2005-2021

Pembiayaan utang merupakan penerimaan utang secara neto, yang telah memperhitungkan pembayaran cicilan dan pelunasan utang terdahulu. Yang bersifat penerimaan diperoleh dari pencairan utang baru atau hasil penerbitan Surat Berharga Negara. Sedangkan yang bersifat pengeluaran berupa pembayaran cicilan pokok dan pelunasan SBN jatuh tempo dan SBN yang dilunasi sebelum waktunya.

Perlu dimengerti bahwa posisi utang pemerintah tidak bertambah persis sebesar pembiayaan utang. Antara lain karena faktor kurs mata uang dari utang. Sebagai contoh, pada tahun 2019 tambahan utang senilai Rp360,98 triliun sedangkan nilai pembiayaan utangnya sebesar Rp428,7 triliun. Namun, dalam banyak tahun, tambahan utang cenderung lebih besar dari pembiayan utang.

Faktor kurs dimaksud bukanlah rata-rata kurs sepanjang tahun, sebagaimana yang dinyatakan dalam asumsi makro ekonomi APBN. Melainkan, penguatan atau pelemahan kurs rupiah antara dua tanggal posisi utang dinyatakan. Pada contoh tahun 2019, terjadi pengutan kurs pada 31 Desember 2019 (Rp13.901) dibanding dengan kurs pada 31 Desember 2018 (Rp14.981). Padahal, rata-rata kurs selama tahun 2019 adalah sebesar Rp14.146.

Cukup besarnya pengaruh kurs dikarenakan sebagian utang Pemerintah merupakan utang dalam mata uang asing. Porsinya berfluktuasi di kisaran 40 persen dari total utang. Sekitar 90 persennya berdenominasi dolar Amerika. Padahal, posisi utang dinyatakan dalam rupiah.

Pembiayaan Utang dan Tambahan Utang Pemerintah, 2005-2021

Pemerintah dan Bank Indonesia memang berupaya mempertahankan tingkat kurs yang stabil, bahkan cenderung setara antara tahun 2020 dengan 2021. Perpres 72/2020 yang sekaligus merupakan outlook mematok kurs di kisaran Rp14.400-14.800 per dolar Amerika. Sedangkan APBN 2021 menetapkan asumsi Rp14.600.

Kurs pada akhir tahun 2020 belum dapat dipastikan. Volatilitas rupiah atas dolar Amerika terus berlangsung. Bank Indonesia menargetkan kurs akhir tahun 2020 di kisaran Rp15.000.