Barisan.co – Defisit berarti total belanja negara melampaui pendapatan negara selama setahun anggaran. APBN 2021 merencanakan belanja sebesar Rp2.750 triliun, dan pendapatan ditargetkan mencapai Rp1.743,60 triliun. Dengan demikian, direncanakan akan terjadi defisit sebesar Rp1.006,40 triliun.
Defisit APBN sering dinyatakan pula sebagai persentase atau rasio dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun bersangkutan. PDB merupakan salah satu indikator pendapatan nasional yang paling banyak dipergunakan. Defisit APBN 2021 tadi diprakirakan memiliki rasio sebesar 5,70% dari PDB.
Sebenarnya UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur tentang batas defisit maksimal atau yang diperbolehkan, yaitu 3 persen dari PDB. Tujuannya untuk menjamin APBN tetap dalam kondisi sehat dan berkesinambungan.
Namun kondisi pandemi Covid-19 memaksa Pemerintah menetapkan batasan baru melalui payung hukum Perppu yang kemudian disetujui DPR menjadi undang-undang.
Selama tiga tahun berturut-turut, dari APBN 2020 sampai dengan APBN 2022 diperbolehkan melebihi 3%. Dan tanpa diberi angka batas rasio defisitnya.
APBN 2020 sejauh ini berdasar Perpres 72/2020 direncanakan defisit 6,34% dari PDB. Sebelumnya pada APBN 2020 hanya sebesar 1,76%, dan Perpres 54/2020 sebesar 5,07%. Tentu saja realisasinya nanti tergantung besaran nominal defisit serta besaran PDB yang terjadi. PDB tersebut berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi pada tahun 2020.
Sebelum adanya pandemi Covid-19 pun, realisasi APBN selalu mengalami defisit. Nilainya secara nominal cenderung meningkat, dan terbesar dialami pada tahun 2019 yang mencapai Rp348,65 triliun.
Dilihat dari besaran rasio atas PDB, terjadi fluktuasi dengan kecenderungan meningkat sejak tahun 2011. Tertinggi terjadi pada tahun 2015 sebesar 2,59%. Hampir setara pada tahun 2016 (2,49%) dan 2017 (2,51%).
Defisit turun menjadi 1,82% pada 2018. Sempat membuat optimis, sehingga defisit ditargetkan sebesar 1,84% pada 2019. Namun, realisasi 2019 ternyata masih mencapai 2,18%.
Jika dikaitkan dengan era Pemerintahan, maka rata-rata rasio defisit era 2015-2019 tercatat tertinggi, mencapai 2,31%. Pada era 2005-2009 hanya sebesar 0,80%. Kemudian meningkat menjadi 1,58% pada era 2010-2014.
Defisit sebenarnya dapat diartikan sebagai “gali lubang tutup lubang” dalam soalan utang. Oleh karena pendapatan tidak mencukupi untuk belanja, maka tak tersedia lagi untuk melunasi atau membayar cicilan utang pokok yang jatuh tempo. Pembayaran utang hanya bisa dilakukan dengan berutang lagi.
Fenomena itu terkonfirmasi pula dari posisi utang yang terus bertambah tiap tahun. Jika sebagian saja dari utang dapat dibayar dengan pendapatan, maka posisi utang akan berkurang.
Pencatatan dalam APBN dan tersirat dari posturnya, membedakan antara pelunasan pokok utang dengan pembayaran bunga utang. Pelunasan dicatat dalam pos pembiayaan, sedangkan pembayaran bunga diperlakukan sebagai belanja.
Bagaimana jika pembayaran bunga utang tidak diperhitungkan atau ditiadakan dalam catatan belanja?
Misalkan pada APBN 2021, total belanja direncanakan sebesar Rp2.750 triliun. Di dalamnya ada pembayaran bunga utang sebesar Rp373,26 triliun. Jika tak diperhitungan, maka belanja hanya sebesar Rp2.376,74 triliun.
Nilai Rp2.376,74 triliun itu dibandingkan dengan pendapatan negara yang sebesar Rp1.743,60 triliun. Didapat besaran minus Rp633,14 triliun. Besaran itu dikenal dengan istilah Keseimbangan Primer.
Arti penting Keseimbangan Primer dalam analisa fiskal dan penilaian kesehatan APBN pada suatu tahun membuatnya tercantum dalam postur ringkas yang dikemukakan kepada publik. Istilah itu sempat dikenal cukup luas pada 2018 dan 2019, ketika topik utang pemerintah sedang mengemuka.
Dari contoh tadi, arti keseimbangan primer (KP) adalah selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Jika total pendapatan negara lebih besar daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang maka KP akan positif. Masih tersedia dana atau sebagian dana membayar bunga utang.
Sebaliknya, jika total pendapatan negara lebih kecil daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang, maka KP bernilai minus. Sudah tidak tersedia dana untuk membayar bunga utang. Sebagian atau seluruh bunga utang dibayar dengan penambahan utang baru.
Pada periode tahun 2000 hingga tahun 2011, KP selalu bernilai positif. Sejak tahun 2012 hingga 2018 tercatat selalu minus. Nilai minusnya sempat meningkat pesat. Pada tahun 2018 berhasil diturunkan secara drastis, karena pendapatan tumbuh tinggi dan defisit dapat ditekan. Namun, KP kembali tercatat minus yang cukup besar pada tahun 2019.
Cara lain melihat nilai keseimbangan primer adalah dengan membandingkan nilai defisit dengan pembayaran bunga utang. Selisihnya akan serupa dengan perhitungan tadi.
Defisit, Pembayaran Bunga Utang, dan Keseimbangan Primer, 2005-2021
(Sumber data: Kementerian Keuangan; 2005-2019: LKPP; 2020: Perpres 72; 2021: APBN)
Serupa dengan analisis tentang defisit, besaran keseimbangan primer juga dapat dilihat dari rasionya atas PDB. Tentu saja, besaran KP jika bernilai minus pun tak akan sebesar defisitnya.
Rasio Defisit & Keseimbangan Primer atas PDB, 2005-2021
(Sumber data: Kementerian Keuangan; 2005-2019: LKPP; 2020: Perpres 72; 2021: APBN)
Dampak pandemi Covid-19 pada APBN memang lebih terlihat pada kondisi defisit dan KP. Besaran minus KP bahkan telah melampaui besaran pembayaran bunga pada tahun 2020 dan 2021.
Keseimbangan Primer tahun 2020 diprakirakan mencapai minus Rp700,43 triliun atau minus 4,28% dari PDB. Dan pada 2021 direncanakan sebesar minus Rp633,1 triliun atau minus 3,59% dari PDB.
Kontributor: Awalil Rizky
Diskusi tentang post ini