Scroll untuk baca artikel
Ekonopedia

Mengerti Utang Pemerintah [Bagian Enam]

Redaksi
×

Mengerti Utang Pemerintah [Bagian Enam]

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Risiko secara sederhana dapat diartikan sebagai kemungkinan pemburukan kondisi yang bersifat tidak terduga atau sekurangnya melampaui yang diharapkan. Dalam hal risiko utang, terutama berhubungan dengan kemampuan memenuhi segala kewajiban, seperti pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga. Meskipun mungkin hanya pada sebagian utang, baik yang berjenis pinjaman ataupun SBN.

Sejauh ini, kegagalan membayar beban utang tidak pernah terjadi di Indonesia. Bahkan pada saat krisis 1997/1998, Pemerintah masih berhasil memenuhi kewajibannya, meski dengan susah payah.

Pemerintah pun tampak cukup optimis atas perkembangan utang yang makin memburuk akibat pandemi, dengan selalu mengatakan kondisinya masih aman dan telah dikelola secara berhati-hati, serta memperhitungan risiko ke depannya.

Bagaimanapun, perlu diingat bahwa jika pemerintah berhasil membayar kewajiban utangnya, namun dilakukan dengan segala upaya dan sumber daya, maka dapat menggeser risiko ke tahun-tahun berikutnya. Pemerintah menjadi kekurangan dana untuk melakukan kewajiban memberi pelayanan publik, serta kesulitan melaksanakan pemerintahan yang baik.

Berkaitan dengan semua itu, risiko pengelolaan utang Pemerintah kini bertambah dalam aspek pencarian utang baru.

Kondisi APBN masih memaksa pembayaran beban utang harus dilakukan dengan penarikan utang baru. Upaya tersebut berisiko tidak diperolehnya utang baru senilai yang diharapkan. Terutama jika selisih kurangnya dalam nilai yang besar.

Risiko utang pemerintah dapat dicermati melalui banyak indikator, namun Pemerintah cenderung menonjolkan salah satunya saja dalam wacana publik. Yaitu rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Sebab utamanya karena rasio tersebut yang diatur dalam undang-undang No.17/2003 tentang keuangan negara. Batas yang tidak boleh dilewati disebut dalam penjelasan pasal 12 ayat 3, sebesar 60% dari PDB. Sebenarnya jika dicermat tidak dikatakan sebagai batas aman,melainkan bahwa rasio utang tidak boleh melebihi batas tersebut.

Grafik posisi utang akhir tahun, 1998-2021

Sumber data: Kementerian Keuangan & BPS, diolah.

Perkembangan rasio utang atas PDB pada era awal reformasi (1998-2000) meningkat drastis. Penyebab utamanya adalah upaya pemulihan ekonomi, khususnya sektor industri perbankan, yang dibiayai oleh utang pemerintah. Rasio tertinggi terjadi pada tahun 2000 yang mencapai 88,81%.

Rasio berhasil diturunkan secara sangat signifikan pada periode 2001 sampai dengan 2007. Posisi utang secara nominal bisa dipertahankan tidak meningkat, atau hanya sedikit meningkat.

Pada saat bersamaan, PDB nominal mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Penurunan paling pesat terjadi pada tahun 2002 yang turun lebih dari 10% dari tahun sebelumnya. Disusul tahun 2005 yang turun lebih dari 9%.

Rasio terendah dicapai pada tahun 2012 yang sebesar 22,95%. Rasio kembali meningkat pada tahun 2013 (24,88%) dan sedikit turun pada tahun 2014 (24,68%). Meningkat cukup signifikan pada tahun 2015 yang mencapai 27,45%. Relatif stabil di kisaran itu pada tahun 2016 dan 2017.

Peningkatan signifikan kembali terjadi pada tahun 2018 yang mencapai 30,31%. Sedikit turun pada tahun 2019, yang sebesar 30,23%.

Sebelum pandemi, pemerintah era Presiden Jokowi I sering menyampaikan akan menjaga rasio utangnya atas PDB di kisaran 30%. Hal itu cukup bisa dilakukan sampai dengan tahun 2019.

Namun, faktor dampak pandemi pada tahun 2020 membuat penambahan utang secara nominal yang sangat besar. Pada saat bersamaan, PDB nominal justru menurun. Rasio utang pun melesat menjadi 38,68% pada akhir tahun 2020.